KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas berkat rahmat serta
karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan Makalah Sistem Ekonomi Islam dengan juduk “ PROSES PRODUKSI”.
Makalah
ini disusun sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban tertulis
dalam rangka memenuhi persyaratan
tugas Kelompok mata kuliah Sistem Ekonomi Islam,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Ekonomi Semester
VI ( kelas 6C sore ) Universitas
Islam Syekh Yusuf Tangerang.
Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, baik dalam
penyajian materi maupun dalam pemeparannya. Hal tersebut disebabkan semata-mata
karena keterbatasan dan kemampuan penyusun. Karena itu, penyusun mengharapkan
saran serta masukan yang membangun guna menyempurnakan makalah ini.
Atas
segala bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penyusun, sekali lagi
penyusun mengucapkan terima kasih semoga Allah SWT membalasnya dengan berlipat
ganda.
Akhir
kata semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun, umumnya bagi para
pembaca dan semoga menjadi bahan inspirasi bagi generasi selanjutnya.
Tangerang, Maret 2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
SAMPUL
DEPAN
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
( 1 )
B. Tujuan
Penyusunan Makalah
( 2 )
C. Rumusan Masalah
( 3
)
D. Metode
Pengumpulan Data ( 3 )
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Produksi ( 4 )
B.
Pentingnya
Produksi ( 8 )
C.
Faktor-faktor
Produksi ( 9 )
D.
Tujuan
dan Motif Produksi (19)
E.
Prinsip-prinsip
Produksi dalam Islam (23)
F.
Produksi
Dalam Pandangan Islam (26)
G.
Nilai-nilai
Islam dalam berproduksi (29)
H.
Prilaku
Produsen Muslim Vs Non Muslim (30)
I.
Pola Produksi (32)
J.
Etika Produksi (34)
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan (37)
B. Saran (38)
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an
menggunakan konsep produksi barang dalam artian luas. Al-Qur’an menekankan manfaat
dari barang yang diproduksi. Memproduksi
suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
Produksi
adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia
menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga
peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari
menyatunya manusia dengan alam. Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari
konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa,
kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi
akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa
kegiatan produksi melibatkan banyak faktor produksi. Fungsi produksi
menggambarkan hubungan antar jumlah input dengan output yang dapat dihasilkan
dalam satu waktu periode tertentu.
Dalam teori produksi memberikan penjelasan tentang
perilaku produsen tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya
maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian
pribadi dalam batas-batas tertentu termasuk pemilikan alat
produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.
Pandangan ini tersirat dari bahasan
ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna. Beliau mengutip firman Allah SWT
yang mengatakan: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah SWT telah
menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)
Semua sumberdaya yang terdapat di langit
dan di bumi disediakan Allah SWT untuk kebutuhan manusia, agar manusia dapat
menikmatinya secara sempurna, lahir dan batin, material dan spiritual. Apa yang
diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup
keilmuan ekonomi islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional.
Ekonomi islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat
fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat
abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba
Allah SWT.
Al-Qur’an juga telah memberikan tuntunan
visi bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata
mencari keuntungan sesaat tetapi “merugikan”, melainkan mencari keuntungan yang
secara hakikat baik dan berakibat baik pula bagi kesudahannya (pengaruhnya).
Salah satu aktifitas bisnis dalam hidup ini adalah adanya aktifitas produksi.
B. Tujuan Penulisan Makalah
1. Menambah
pengetahuan kita mengenai sistem ekonomi islam khusunya tentang proses produksi
dalam islam, sehingga kita tidak hanya sekedar
membacanya, tetapi bisa kita implementasikan dalam dunia pendidikan dan
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Dapat
melatih Mahasiswa dalam pengambangan pola fikir.
3. Selain
itu juga, tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk melengkapi nilai tugas
dalam mata Sistem Ekonomi Islam.
C.
Rumusan Masalah
Masalah
yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :
A. Pengertian
Produksi
B. Pentingnya
Produksi
C. Faktor-faktor
Produksi
D. Tujuan dan
Motif Produksi
E. Prinsip-prinsip
Produksi dalam Islam
F.
Produksi Dalam Pandangan Islam
G. Nilai-nilai
Islam dalam berproduksi
H. Prilaku
Produsen Muslim Vs Non Muslim
I.
Pola Produksi
J.
Etika Produksi
D. Metode Pengumpulan Data
Dalam menyusun makalah ini penyusun menggunakan metode study
literatur yaitu dengan cara mengumpulkan, menganalisis bukti-bukti tertentu
untuk memperoleh fakta dan kesimpulan yang kuat. Dimana pengumpulan data
diperoleh dari berbagai macam sumber sebagai bahan untuk dijadikan suatu
makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Produksi
Al
Qur’an menggunakan konsep produksi barang dalam artian luas. Al Qur’an
menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus
mempunyai hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus
diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia,
bukan untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenagakerja yang
dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.
Namun
demikian, Al Qur’an memberi kebebasan yang luas bagi manusia untuk berusaha
memperoleh kekayaan yang lebih banyak lagi
dalam menuntut kehidupan ekonomi. Dengan memberikan landasan
rohani bagi manusia sehingga sifat manusia yang semula tamak
dan mementingkan diri sendiri menjadi terkendali.
Dalam
surat al Ma’aarij dijelaskan ada beberapa
sifat alami manusia yang menjadi azas semua kegiatan ekonomi
yaitu : “sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.”
Sifat
tamak manusia menjadikan manusia berkeluh
kesah, tidak sabar dan gelisah dalam
perjuangan mendapatkan kekayaan. Dengan begitu
akan memacu manusia untuk melakukan kegiatan
yang produktif. Manusia akan giat untuk
memuaskan kebutuhannya yang terus bertambah,
sehingga akibatnya manusia cenderung melakukan
kerusakan (mafsadat) di muka bumi. Dari sifat
dasar manusia yang tamak itu pula menyebabkan
manusia memiliki dorongan yang kuat dan bimbingan
serta arahan yang benar dan pasti akan menjadikan manusia memiliki sifat mulia.
Kemajuan manusia akan terus berlanjut sepanjang mereka terus berjuang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Daya ciptanya yang tinggi
akan terus menghasilkan produk-produk baru dan metode serta teknik
produksi yang makin sempurna, sehingga mampu menjaga taraf hidup manusia
seiring dengan perubahan zaman. Sifat-sifat dasar manusia dijelaskan dalam
surat lain yaitu Ali Imran ayat 14 yang artinya : “Dijadikan indah
pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diinginkan, yaitu : wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan,binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah
tempat kembali yang baik (syurga).”
Keiinginan
yang tidak terbatas untuk selalu dipenuhi dan memuaskan kehendak pada manusia
semakin lama akan semakin tinggi. Karena itu jika tidak terdapat arahan
yang baik, hal itu akan mendorong
manusia melakukan kerusakan di muka bumi, seperti
yang terjadi saat ini. Al-Qur’an memberikan pandangan
hidup yang seimbang. Di satu sisi Islam
membantu pertumbuhan yang sehat dan mulia
bagi masyarakat. Di sisi lain Islam memberi
rangsangan terhadap adanya aktivitas produktif. Karena itu
Islam membuka kesempatan bagi riset dan penelitian yang sekiranya dapat
meningkatkan kesejahteraan manusia.
Ada
beberapa sabda Rasulullah yang menegaskan
pentingnya ikhtiar untuk memperoleh kebutuhan materi dalam
kehidupan, yaitu :
·
“Memperoleh
penghidupan yang halal merupakan kewajiban yang
paling penting setelah kewajiban menunaikan shalat.”
·
“Apabila
telah selesai kau tunaikan shalat Subuh, janganlah kamu tidur hingga kamu
sendiri telah berusaha untuk mendapatkan nafkah.”
·
“Terdapat
dosa-dosa tertentu yang hanya dapat
dihapuskan dengan berusaha secara tetap dalam masalah
ekonomi.”
Dari
beberapa hadits tersebut menunjukkan bahwa manusia dianjurkan untuk
selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang salah satunya dengan cara berproduksi.
Produksi
adalah menciptakan manfaat dan bukan
menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah
materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga
materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia
dalam “memproduksi” tidak sampai pada
merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia
berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan
mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif).
Memindahkannya dari tempat yang tidak membutuhkan ke tempat yang
membutuhkannya, atau menjaganya dengan cara menyimpan agar bisa dimanfaatkan di
masa yang akan datang atau mengolahnya dengan memasukkan
bahan-bahan tertentu, menutupi kebutuhan tertentu,
atau mengubahnya dari satu bentuk menjadi
bentuk yang lainnya dengan melakukan sterilisasi,
pemintalan, pengukiran, atau penggilingan, dan
sebagainya. Atau mencampurnya dengan cara tertentu
agar menjadi sesuatu yang baru. Hal itu semua
hanya mengubah kondisi materi, sehingga pada
kondisi yang barupun substansinya tetap tidak berubah.
Prinsip
fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip
kesejahteraan ekonomi. Bahkan dalam sistem kapitalis
terdapat seruan untuk memproduksi barang
dan jasa yang didasarkan atas azas
kesejahteraan ekonomi. Keunikan konsep Islam
mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada
kenyataan bahwa hal itu tidak dapat mengabaikan pertimbangan
kesejahteraan umum lebih luas yang menyangkut
persoalan-persoalan moral, pendidikan, agama dan
banyak hal lainnya. Dalam ilmu ekonomi modern,
kesejahteraan ekonomi diukur dari segi uang.
Seperti ungkapan Profesor Pigou bahwa :
“Kesejahteraan ekonomi kira-kira dapat didefinisikan sebagai
bagian kesejahteraan yang dapat dikaitkan dengan alat pengukur uang.”
Dalam
sistem produksi Islam konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang
lebih luas. Menurut Afzalur Rahman dalam bukunya Doktrin Ekonomi Islam,
konsep kesejahteraan ekonomi Islam terdiri
dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan
oleh meningkatnya produksi dari hanya
barang-barang yang berfaedah melalui pemanfaatan
sumber-sumber daya secara maksimum –baik manusia maupun
benda- demikian juga melalui ikut sertanya
jumlah maksimum orang dalam proses produksi.
Dengan
demikian, perbaikan sistem produksi dalam Islam tidak hanya berarti
meningkatnya pendapatan, yang dapat diukur
dari segi uang, tetapi juga perbaikan dalam
memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan kita dengan usaha minimal tetapi tetap
memerhatikan tuntunan perintah-perintah Islam
tentang konsumsi. Oleh karena itu, dalam
sebuah negara Islam kenaikan volume
produksi saja tidak akan menjamin kesejahteraan
rakyat secara maksimum. Mutu barang-barang
yang diproduksi yang tunduk pada perintah
Al Qur’an dan sunnah, juga harus
diperhitungkan dalam menentukan sifat kesejahteraan ekonomi. Demikian
pula kita harus memperhitungkan akibat-akibat tidak
menguntungkan yang akan terjadi dalam
hubungannya dengan perkembangan ekonomi bahan-bahan makanan dan
minuman terlarang. Suatu negara Islam tidak hanya akan
menaruh perhatian untuk menaikkan volume produksi tetapi juga untuk
menjamin ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi. Di
negara-negara kapitalis modern kita temukan
perbedaan yang mencolok karena cara produksi dikendalikan
oleh segelintir kapitalis.
Oleh
karena itu, sistem produksi dalam suatu negara Islam harus
dikendalikan oleh kriteria objektif dan subjektif; kriteria yang objektif
akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat
diukur dari segi uang, dan kriteria
subjektif dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika
ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab suci Al Qur’an dan Sunnah.
B.
Pentingnya
Produksi
Pentingnya
peranan produksi dalam memakmurkan kehidupan
suatu bangsa dan taraf hidup manusia, disebutkan dalam beberapa ayat dan
hadits, seperti : Surat al Qashash ayat 73 : “Supaya kamu mencari sebagian
dari karuniaNya.”.
Surat
ar Rum ayat 23 :“Dan usahamu mencari bagian dari karuniaNya.”
Apabila
dikaji secara terperinci dalam AlQur’an, maka kita akan mendapatkan
bahwa penekanan atas usaha manusia untuk
memperoleh sumber penghidupan merupakan salah satu prinsip ekonomi
yang mendasar di dalam Islam.
Dalam
berbagai ayat AlQur’an telah merujuk secara singkat berbagai cara yang
dibolehkan bagi manusia untuk memanfaatkan sumber alam
yang tak ternatas dalam rangka memenuhi kebutuhan
manusia yang tak terbatas. Al Qur’an
bukan hanya membenarkan dan mengakui kenyataan bahwa umat Islam harus
terus berjuang secara sungguh-sungguh dan terus mengingatkan
keadaan sosial dan ekonomi, tetapi telah
juga mendorong untuk meningkatkan cara dan teknik produksi agar
orang/bangsa itu tidak ketinggalan dengan orang/bangsa lain.
Tujuan
utama Allah menciptakan bumi ialah untuk diberikan kepada manusia agar
dapat mempergunakan sumber-sumber yang ada di bumi untuk memperoleh rizki.
Tersedianya rizki berkaitan erat dengan
usaha manusia. Usaha yang keras akan
menghasilkan sesuatu yang optimal, ganjaran
dan kemurahan dan keberhasilan yang tidak ada batasnya.
Bagi
Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk
dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar. Dua motivasi itu belum cukup
karena masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam menekankan
bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial
(Q.S. Al Hadid (57): 7).
Agar
mampu mengemban fungsi sosial seoptimal mungkin,
kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk
mencukupi kebutuhan konsumtif dan meraih keuntungan
finansial, sehingga bisaberkontribusi kehidupan sosial. Melalui konsep
ini, kegiatan produksi harus bergerak di
atas dua garis optimalisasi. Optimalisasi pertama
adalah mengupayakan berfungsinya sumber dayainsani ke
arah pencapaian kondisi full employment (tanpa
pengangguran), dimana setiap orang menghasilkan karya kecuali
mereka yang udzur syar’i (sakit atau lumpuh). Optimalisasi kedua memproduksi
berdasarkan skala prioritas yaitu kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu
kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat)
secara proporsional.
C.
Faktor-faktor
Produksi
Ada
beberapa jenis faktor produksi yaitu :
1.
Tanah
Tanah
mengandung pengertian yang luas, yaitu
termasuk semua sumber yang kita peroleh
dari udara, laut, gunung, dan sebagainya,
sampai keadaan geografi, angin, dan iklim yang terkandung dalam tanah.
Termasuk dalam faktor produksi tanah adalah :
a) Bumi (tanah)
merupakan permukaan tanah yang di atasnya
kita dapat berjalan, mendirikan bangunan, rumah, perusahaan.
b) Mineral, seperti logam, bebatuan dan
sebagainya yang terkandung di dalam tanah yang juga dapat dimanfaatkan oleh
manusia.
c) Gunung, merupakan
suatu sumber lain yang menjadi sumber
tenaga asli yang membantu dalam mengeluarkan
harta kekayaan. Gunung-gunung berfungsi sebagai penadah
hujan dan menajdi aliran sungai-sungai dan
melaluinya semua kehidupan mendapatkan rizki masing-masing.
d) Hutan, merupakan sumber kekayaan
alam yang penting. Hutan memberikan bahan api, bahan-bahan mentah
untuk industri kertas, damar, perkapalan, perabotan
rumah tangga, dan sebagainya.
e) Hewan, mempunyai kegunaan memberikan
daging, susu, dan lemak untuk tujuan ekonomi, industri dan perhiasan.
Sebagian lagi digunakan untuk kerja dan pengangkutan.
Baik
Al Qur’an maupun sunnah banyak memberikan
tekanan pada pembudidayaan tanah secara baik.
Dengan demikian, Al Qur’an menaruh perhatian akan
perlunya mengubah tanah kosong menjadi kebun-kebun dengan mengadakan
pengaturan pengairan, dan menanaminya dengan
tanaman yang
baik.
Seperti KalamNya dalam surat As Sajadah ayat 27 : “Dan apakah
mereka tidak memerhatikan bahwasanya Kami menghalau hujan
ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan tanam-tanaman
yang daripadanya dapat makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka
sendiri…”
Tanah
dapat dipandang dari dua sisi yaitu :
1. Tanah sebagai Sumber Daya Alam
Seorang
Muslim dapat memperoleh hak milik atas sumber-sumber
daya alam setelah memenuhi kewajibannya
terhadap masyarakat. Penggunaan dan pemeliharaan sumber-sumber daya
alam itu dapat menimbulkan dua komponen
penghasilan, yaitu : (a) penghasilan dari sumber-sumber
daya alam sendiri (yaitu sewa ekonomis murni) dan (b)
penghasilan dari perbaikan dalam penggunaan
sumber-sumber daya alam melalui kerja manusia dan
modal. Jadi manusia berhak untuk memanfaatkan dan
memiliki tanah untuk dipergunakan dalam mencari nafkah dan
menggunakannya sebagai salah satu faktor produksi.
2. Tanah sebagai Sumber Daya yang Dapat
Habis (Exhaustable).
Menurut
pandangan Islam sumber daya yang dapat
habis adalah milik generasi kini maupun
generasi-generasi masa yang akan datang. Generasi kini tidak
berhak untuk menyalahgunakan sumber-sumber daya yang
dapat habis sehingga menimbulkan bahaya bagi
generasi yang akan datang. Dari analisis
tersebut, hipotesis atau kebijaksanaan pedoman dapat disusun
sebagai berikut :
1)
Pembangunan
pertanian pada negara-negara Islam dapat
ditingkatkan melalui metode penanaman yang
intensif dan ekstensif jika dilengkapi dengan
suatu program pendidikan moral, berdasarkan ajaran Islam.
2)
Penghasilan
yang diperoleh dari penggunaan sumber daya yang dapat habis
(exhaustable resources) lebih digunakan untuk
pembangunan lembaga-lembaga sosial (seperti universitas, rumah sakit) dan
untuk infrastruktur fisik daripada konsumsi sekarang
ini
3)
Sewa
ekonomis murni boleh lebih digunakan untuk memenuhi
tingkat pengeluaran konsumsi sekarang ini.
2.
Tenaga
Kerja
Tenaga
kerja atau buruh merupakan faktor produksi yang diakui di setiap sistem
ekonomi terlepas dari kecenderungan ideologi
mereka. Kekhususan perburuhan seperti kemusnahan, keadaan yang
tidak terpisahkan dari buruh itu sendiri, ketidakpekaan
jangka pendek terhadap permintaan buruh, dan yang
mempunyai sikap dalam penentuan upah, merupakan
hal yang sama pada semua sistem.
Tenaga
kerja adalah segala usaha dan ikhtiar yang dilakukan oleh anggota badan
atau pikiran untuk mendapatkan imbalan yang
pantas. Termasuk semua jenis kerja yang dilakukan fisik maupun pikiran.
Manusia
diciptakan untuk bekerja dan mencari
penghidupan masing-masing. Seperti disebutkan dalam surat al Balad ayat 4
: “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia padahal dia dalam kesusahan.” Kabad
berarti kesusahan, kesukaran, perjuangan dan kesulitan
akibat bekerja keras. Ini merupakan suatu cobaan bagi manusia yaitu dia
ditakdirkan berada pada kedudukan yang tinggi
(mulia) tetapi kemajuan tersebut dapat dicapai melalui
ketekunan dan bekerja keras. Di samping itu pengertian “kabad” juga
menunjukkan bahwa manusia hendaknya berupaya
untuk melakukan dan menanggung segala kesukaran
dan kesusahan dalam perjuangan untuk mencapai tujuan.
Rasulullah
saw, senantiasa menyuruh umatnya bekerja
dan tidak menyukai manusia yang bergantung kepada kelebihan saja.
Dalam
Islam, buruh bukan hanya suatu jumlah
usaha atau jasa abstrak yang ditawarkan
untuk dijual pada para pencari tenaga
kerja. Mereka yang mempekerjakan buruh mempunyai
tanggung jawab moral dan sosial. Dalam kenyataannya,
seorang pekerja modern memiliki tenaga
kerja yang berhak dijualnya dengan harga setinggi mungkin (upah
tinggi). Tetapi dalam Islam ia tidak mutlak bebas untuk
berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan
tenaga kerjanya itu. Baik pekerja maupun majikan tidak boleh saling memeras.
Semua tanggung jawab buruh tidak berakhir
pada waktu seorang pekerja meninggalkan pabrik majikannya. Ia
mempunyai tanggung jawab moral untuk melindungi kepentingan
yang sah, baik kepentingan para majikan
maupun para pekerja yang kurang beruntung.
Dengan
demikian, dalam Islam buruh digunakan dalam
arti yang lebih luas namun lebih terbatas.
Lebih luas, karena hanya memandang pada
penggunaan jasa buruh di luar batas-batas pertimbangan keuangan.
Terbatas
dalam
arti bahwa seorang pekerja tidak secara mutlak bebas untuk berbuat apa saja
yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu. Tenaga kerja secara umum
dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu :
Ø Tenaga kerja kasar/buruh kasar,
misalnya pekerja bangunan, pandai besi, dan sebagainya.
Allah memuliakan hambanya meskipun yang bekerja sebagai
pekerja kasar. Banyak ayat dan riwayat yang
membahas tentang kegiatan para nabi terkait
dengan peghargaan terhadap para pekerja kasar
–pekerja/tukang Nabi Sulaiman, Nabi Hud dengan pembuatan
kapal, dan sebagainya.
Ø Tenaga kerja
terdidik. Dalam al Qur’an disebutkan
tentang tenaga ahli. Cerita tentang Nabi
Yusuf yang diakui pengetahuan dan kejujurannya
oleh raja yang mempercayakan tugas mengurus
dan menjaga gudang padi dan sebagainya. Hal itu menunjukkan
bahwa faktor keahlian dan pendidikan menjadi
sangat penting dalam bekerja.
Kriteria
Pemilihan Tenaga Kerja
Pemilihan
tenaga kerja tergantung ketersediaan/penawaran tenaga kerja. Sedangkan
penawaran tenaga kerja tergantung pada beberapa faktor :
a)
Kecakapan
tenaga kerja, merupakan keahlian dan ketrampilan yang dimiliki oleh
tenaga kerja. Islam menjunjung tinggi hasil
kerja yang cakap dan memerintahkan umat
Islam untuk mengajarkan semua jenis kerja
dengan tekun dan sempurna. Kecakapan tenaga
kerja tergantung pada tiga faktor yaitu : kesehatan
fisik, mental dan moral serta pendidikan dan pelatihan bagi para pekerja.
b)
Mobilisasi
tenaga kerja, merupakan pergerakan tenaga
kerja dari suatu kawasan geografi ke
kawasan yang lain. Mobilisasi terkait erat
dengan kondisi ekonomi pekerja. Mobilisasi dipengaruhi
oleh faktor tingkat upah, dimana biasanya
pekerja akan berupaya untuk mencari tempat
kerja yang memberikan tingkat upah lebih tinggi.
Al Qur’an membolehkan adanya mobilisasi tenaga kerja demi
untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
c)
Penduduk,
jumlah penduduk merupakan faktor yang sangat memengaruhi terhadap
penawaran tenaga kerja. Idealnya pertumbuhan
penduduk seiring/seimbang dengan pertumbuhan lapangan
kerja (pertumbuhan ekonomi).
Kebebasan
Bekerja
Islam
memberikan kebebasan dalam hal mencari
lapangan pekerjaan baik macam maupun wilayah kerja demi
mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun
Islam tetap menggariskan bahwa ada pekerjaan
yang halal dan haram.
Kemuliaan
Bekerja
Setiap
pekerjaan yang halal terbuka untuk semua
orang tanpa
memandang
warna kulit, keturunan atau kepercayaan.
Islam mengajarkan umatnya agar menghormati saudara seagama tanpa
memandang pekerjaan dan ia memberikan kemuliaan dan
status kepada golongan buruh. AlQur’an membuat
banyak contoh tentang kehidupan para Rasul
yang bekerja dengan tenaga sendiri untuk kehidupannya.
3.
Modal
Modal
merupakan asset yang digunakan untuk
distribusi asset yang berikutnya. Modal dapat memberikan
kepuasan pribadi dan membantu untuk menghasilkan kekayaan yang lebih banyak.
Pentingnya modal dalam kehidupan manusia
ditunjukkan dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 14
yang artinya :
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah
tempat kembali yang baik (syurga).”
Kata
mataa’u berarti modal berupa emas dan perak, kuda yang bagus dan
ternak (termasuk bentuk modal yang lain).
Kata zainu menunjukkan kepentingan
modal
bagi kehidupan manusia.
Sedangkan
Rasulullah menekankan kepentingan modal dalam sabdanya :
“Tidak
boleh iri kecuali kepada dua perkara
yaitu : orang yang hartanya digunakan untuk
jalan kebenaran dan orang yang ilmu
pengetahuannya diamalkan kepada orang lain.”
Dari
hadits tersebut diketahui bahwa mencari
ilmu sama pentingnya dengan mencari harta.
Pengumpulan
modal
Ada
beberapa faktor yang menentukan terhadap pengumpulan modal yaitu :
a)
Peningkatan
pendapatan, dapat dilakukan melalui cara yang bersifat wajib : pembayaran zakat
dan larangan mengenakan bunga. Sedangkan cara pilihan yaitu dengan penggunaan
harta anak yatim, penanaman modal secara tunai dan melalui
warisan.Menghindari sikap berlebih-lebihan, dalam
hal ini
b)
adalah
mengurangi kebiasaan melakukan pembelanjaan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan, menghindari gaya hidup mewah dan
mubazir.
c)
Pembekuan
modal, cara ini dapat menyebabkan berkurangnya modal yang
dapat digunakan. Islam membenci kegiatan
pembekuan modal atau menyimpan harta bukan untuk digunakan dalam
kegiatan produktif. Hal ini seperti disampaikan dalam surat Al Ma’arij ayat 18
yang artinya : “Dan menghimpun (harta) lalu menyimpannya (tidak membayarkan
zakatnya).”
d) Keselamatan dan
keamanan, dalam proses penghimpunan modal, perlu
adanya rasa aman dan ketentraman dalam negara dimana lokasi penanaman
modal itu dilakukan. Bila ada jaminan
keselamatan dan keamanan dalam suatu negara, maka
rakyat akan lebih giat dalam melakukan pemupukan
modal.
Dalam
perspektif ekonomi konvensional, modal dapat tumbuh
dari sebagian pendapatan yang ditabungkan oleh
masyarakat. Besarnya tabungan dipengaruhi oleh
tingkat bunga. Menurut ekonom konvensional,
semakin tinggi tingkat bunga semakin besar
imbalan tabungan, semakin tinggi pula kecenderungan
untuk menabung dan sebaliknya. Menurut Keynes,
tingkat bunga yang tinggi akan menekan
kegiatan ekonomi dan menyebabkan volume
penanaman modal yang lebih kecil. Sebagai akibatnya, pendapatan
uang yang terkumpul akan mengecil, dan dengan adanya kecenderungan yang sama
untuk menabung, volume tabungan akan berkurang. Kenyataannya
adalah bahwa jika individu-individu rasional,
mereka mungkin lebih banyak menabungkan penghasilan mereka,
bila tingkat bunganya tinggi. Suatu tingkat
bunga yang tinggi berarti lebih tingginya
imbalan bagi tabungan. Oleh karena itu,
berdasarkan alasan-alasan murni, orang akan lebih
banyak menabung.
Yang
terpenting dalam hal ini ialah bahwa modal
dapat juga tumbuh dalam perekonomian masyarakat yang bebas
bunga. Islam membolehkan adanya laba yang berlaku sebagai insentif untuk
menabung. Islam membolehkan dua cara pembentukan modal yang berlawanan yaitu
konsumsi sekarang yang berkurang (mengurangi tingkat
konsumsi untuk menabung) dan konsumsi mendatang
yang bertambah. Dengan demikian memungkinkan
modal memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi.
4. Organisasi
Organisasi
atau manajemen merupakan proses merencanakan dan
mengarahkan kegiatan usaha perusahaan untuk
mencapai tujuan. Organisasi memegang peranan penting dalam kegiatan
produksi. Pentingnya perencanaan dan organisasi dapat dilihat pada hakikat
bahwa Allah sendiri adalah perencana yang terbaik. Seperti disebutkan dalam
surat Ali Imran ayat 173 yang artinya :
“Cukuplah
Allah menjadi penolong kami dan Dialah sebaik-baik pelindung.”
Peranan
organisasi dalam Islam sangat penting,
apalagi jika dikaitkan dengan kegiatan produksi.
Ada beberapa ciri mendasar yang harus
dimiliki oleh organisasi Islam terkait dengan
fungsinya sebagai salah satu faktor produksi,
yaitu :
a)
Dalam
ekonomi Islam yang pada hakekatnya lebih
berdasarkan ekuiti (equity-based) daripada berdasarkan
pinjaman (loan-based), para manajer cenderung
mengelola perusahaan yang bersangkutan dengan
pandangan untuk membagi dividen di kalangan
pemegang saham atau berbagi keuntungan di antara mitra
suatu usaha ekonomi. Sifat motivasi organisasi demikian
sangatlah berbeda dalam arti bahwa mereka
cenderung untuk mendorong kekuatan-kekuatan koperatif
melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan
persekutuan dalam bermacam-macam bentk seperti
musyarakah, mudharabah, dan lain-lain.
b)
Sebagai
akibatnya, pengertian tentang keuntungan biasa
mempunyai arti yang lebih luas dalam
kerangka ekonomi Islam karena bunga pada modal
tidak dapat dikenakan lagi. Modal manusia
yang diberikan oleh manajer harus diintegrasikan
dengan modal yang berbentuk uang. Perilaku
mengutamakan kepentingan orang lain dalam
Islam, mungkin berbeda dalam kenyataan dan
siasat pengelolaannya, kecuali bila secara kebetulan
perilaku sebenarnya dari organisasi tersebut
serupa dengan tindakan yang diperlukan dalam memaksimalkan
keuntungan. Hal ini tidak berarti bahwa manajemen tidak
berusaha untuk mencari laba. Arti yang
sesungguhnya bahwa organisasi Islam sebagai faktor
produksi berbeda dengan organisasi dalam ekonomi konvensional/secular,
baik pada tingkatan konseptual maupun pada tingkatan
operasional dalam usaha menyelaraskan banyaknya tujuan yang tunduk pada
kendala-kendala keuntungan.
c)
Karena
sifat terpadu organisasi inilah tuntutan
akan integritas moral, ketepatan dan kejujuran
dalam proses perakunan (accounting) jauh lebih
diperlukan daripada dalam organisasi secular.
d) Faktor manusia dalam produksi dan
strategi usaha mempunyai signifikansi lebih diakui
dibandingkan dengan strategi manajemen lainnya
yang didasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.
Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu
ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi
konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya.
Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan
batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis
ekonomi yang dapat digunakan.
Dengan kata lain, factor produksi
ekonomi islam dengan ekonomi konvesional tidak
berbeda, yang secara umum dapat
dinyatakan dalam :
a.
Faktor produksi tenaga kerja
b.
Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong
c.
Faktor produksi modal
Di antara ketiga factor produksi, factor
produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi
konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata
membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan
mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu
da antara dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan anttara faktor-faktor yang
terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai
buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam
memadukan larangan bunga(riba) dalam islam dengan peran besar yang dimainkan
oleh modal dalam produksi.
Kegagalan ini disebabkan oleh adannya
prakonseps kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal yang ada
dibalik pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor penting dalam
produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi
dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi.
Pemerintah akan membangun pasar terbesar
untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan.
Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi
dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan
pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena
belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang
dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik.
Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada
dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air
sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di
kejauhan segalanya tetap kering.
Faktor terpenting untuk prospek usaha
adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan
kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak).
Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk
lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah
akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada
penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan
pajak.
D.
Tujuan
dan Motif Produksi
1) Tujuan
Produksi
Tujuan
dari kegiatan produksi mencapai dua hal pokok
pada tingkat pribadi muslim dan umat Islam adalah :
a)
Memenuhi
kebutuhan setiap individu. Di dalam ekonomi Islam
kegiatan produksi menjadi sesuatu yang unik
dan istimewa sebab di dalamnya terdapat
faktor itqan (profesionalitas) yang dicintai Allah
dan ihsan yang diwajibkan Allah atas segala
sesuatu. Pada tingkat pribadi muslim, tujuannya adalah
merealisasi pemenuhan kebutuhan baginya.
b)
Merealisasikan
kemandirian umat,
hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan,
keahlian dan prasarana yang memungkinkan
terpenuhinya kebutuhan material dan spiritual.
Dalam
upaya merealisasikan pemenuhan kebutuhan umat ada
beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a)
Melakukan
perencanaan. Perencanaan yang dilakukan seperti disyari’atkan oleh
Nabi Yusuf adalah selama 15 tahun.
Perencanaannya mencakup produksi, penyimpanan, pengeluaran dan
distribusi.
b)
Mempersiapkan
sumberdaya manusia dan pembagian tugas yang baik.
c)
Memperlakukan
sumber daya alam dengan baik.
d) Keragaman produksi dalam rangka
memenuhi kebutuhan umat.
e)
Mengoptimalkan
fungsi kekayaan berupa mata uang.
Dalam konsep ekonomi konvensional
(kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya,
berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi
dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan
utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang
selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah
dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Keuntungan bagi seorang produsen
biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh
faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan
kebaikan dan manfaat bagi rodusen sendiri dan manusia secara keseluruhan.
Keberkahan ini dapat dicapai jika
produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam
upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena
adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan
meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan.
Berkah merupakan komponen penting dalam
mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun
pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab
berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output.
Berkah yang dimasukkan dalam input
produksi meliputi bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi harus
memiliki kebaikan dan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang.
Penggunaan bahan baku yang ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal
logging, maupun penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya
dalam jangka waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang baik(pendistribusian
baik), tetapi dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah. Sebagai
contoh penggunaan bahan baku dari ilegal logging dalam jangka panjang akan
menimbulkan berbagai bencana, dan akan memberikan nilai mudharat kepada para
penerus/generasi selanjutnya.
2)
Motif Produksi
Menurut
nejatullah sebagaimana di kutip kahf ada lima tujuan produksi dalam islam
yaitu:
a.
Memenuhi
kebutuhan pribadi secara wajar. Tujuan ini tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan
sikap self interest karena yang menjadi konsep dasarnya adalah pemenuhan
kebutuhan secara wajar, tidak berlebihan tetapi tidak kurang. Terdapat dua
implikasi pada kebutuhani ini.pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan
jasa yang menjadi kebutuhan bukan keinginan dari konsumen. Kedua, kuantitas
produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar.
Pemenuhan keperluan secara wajar juga tidak berarti produksi hanya untuk
mencukupi diri sendiri, lebih baik jika produksi melebihi keperluan pribadi,
sehingga bisa dimanfaatkan oleh orang lain.
b.
Memenuhi
kebutuhan masyarakat. Tujuan ini berarti bahwa produsen harus proaktif dalam
menyediakan komoditi-komoditi yang menjadi kebutuhan masyarakat, dan terus
menerus berupayaa memberikan produk terbaik, sehingga terjadi peningkatan dalam
kuantitas dan kualitas barang yang dihasilkan.
c.
Keperluan
masa depan. Berorientasi ke masa depan berarti produsen harus terus menerus
berupaya meningkatkan kualitas barang yang dihasilkan melalui serangkaian
proses riset dan pengembangan dan berkreasi untuk menciptakan barang-barang
baru yang lebih menarik dan diminati masyarakat.
d.
Keperluan
generasi yang akan datang, islam menganjurkan umatnya untuk memperhatikan
keperlan generasi yang akan datang. Produksi dilakukan tidak boleh mengganggu
keberlanjutan hidup generasi yang akan datang, pemanfaatan input di masa
sekarang tidak boleh menyebabkan generasi yang akan datang kesulitan dalam
mengakses sumber tersebut, produksi yang dilakukan saat ini memiliki kaitan
yang erat dengan kemampuan produksi di masa depan. Jadi, ada semacam inter and
intra generation equity (keseimbangan antara generasi sekarang dan generasi
yang akan datang).
e.
Keperluan
sosial dan infak di jalan Allah. Ini merupakan insentif utama bagi produsen
untuk menghasilkan tingkat output yang lebih tinngi, yaitu memenuhui tanggung
jawab sosial terhadap masyarakat. Walaupun keperluan pribadi, masyarakat,
keperluan generasi sekarang dan generasi yang akan datang telah terpenuhi,
produsen tidak harus bermalas-maasan dan berhenti berinovasi. Tetapi sebaliknya,
produsen harus memproduksi lebih banyak lagi supaya dapat diberikan kepada
masyarakat dalam bentuk zakat, sedekah, infak, dan lain sebagainya.
E.
Prinsip-prinsip
Produksi dalam Islam
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya
dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan
tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim dilakukan untuk
mencari falah (kebahagiaan), demikian pula produksi dilakukan untuk
menyediakan barang dan jasa guna falah tersebut.
Al-Qur’an
dan Hadist Rasulullah Saw memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip
produksi,yaitu sebagai berikut:
1.
Tugas
manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu
dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di
antara keduanya karena sifat Rahman dan Rahiim-Nya bkepada manusia. Karenanya
sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi
dan langit dan segala isinya.
2.
Islam
selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi,
Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian,
eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhan
terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari
Al-qur’an dan Hadis.
3.
Teknik
produksi diserahklan kepada keingunan dan kemampuan manusia. Nabi pernah
bersabda:”kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
4.
Dalam
berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan,
menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat
ajaran yang memerintahkan membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya,
karena pasrah kepada keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan
ketetapan-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agama-agama sealin
Islam. Seseungguhnyan Islam mengingkari itu semua dan menyuruh bekerja dan
berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama persyaratan. Tawakal dan
sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. Sebagi pemilik hak
prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan
dipenuhi dengan optimal.
Adapun
kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:
1.
Memproduksikan
barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.
2.
Mencegah
kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian, dan
ketersediaan sumber daya alam.
3.
Produksi
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta
mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas
yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya
akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta
untuk kemakmuran material.
4.
Produksi
dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemanirian umat. Untuk itu
hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang
memungkinkan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. Juga terpenuhinya
kebutuhan pengembangan peradaban, di mana dalam kaitan tersebut para ahli fiqh
memandang bahwa pengembangan di bidang ilmu, industri, perdagangan, keuangan
merupakan fardhu kifayah, yang dengannya manusia biasa melaksanakan urusan
agama dan dunianya.
5.
Meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik.
Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniahnya, kualitas mental
terkait dengan etos kerja, intelektual, kreatifitasnya, serta fisik mencakup
kekuatan fisik,kesehatan, efisiensi, dan sebagainya. Menurut Islam, kualitas
rohiah individu mewarnai kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga membina
kekuatan rohaniah menjadi unsur penting dalam produksi Islami.
Menurut
Mannan(1992), perilaku produksi tidak hanya
menyandarkan pada kondisi permintaan pasar tetapi juga
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Sejalan dengan itu,
Metwally (1992) menyatakan bahwa fungsi
kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh variable tingkat
keuntungan, tetapijuga oleh pengeluaran yang bersifat charity atau good deeds.
Sehingga fungsi utilitas dari pengusaha muslim adalah: Umax = U(F, G)
Dimana : F = tingkat keuntungan G = tingkat pengeluaran untuk good
deeds/charity
Menurut
Metwally, pengeluaran perusahaan untuk charity akan meningkatkan
permintaan terhadap produk perusahaan, karena
G akan menghasilkan efekpenggandaan (multiplier
effect) terhadap kemampuan daya beli masyarakat,
pada akhirnya akan meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan.
Tanpa adanya charity,yang dalam Islam diimplementasikan melalui kewajiban
zakat, golongan miskin tidak akan mampu mengaktualisasikan permintaannya karena
tidak memiliki daya beli.
Pertentangan
antara charity/shadaqahdan riba, dimana peran sistem
keuangan berdasarkan riba sangat mendukung sistem
ekonomi individualistis dan hedonis, sedangkan shadaqah
sangat bersifat alturistis, dermawan dan
penuh kesetiakawanan sosial. Menurut Sayyid Quthb, riba adalah lawan
shadaqah.
Dalam
dunia usaha modern saat ini peran sosial
dari perusahaan menjadi hal yang penting dalam
rangka menyelaraskan kepentingan perusahaan dengan
masyarakat secara umum. Konsep CSR
(Corporate Social Responsibility) dengan cara
menyisihkan sebagian keuntungan bagi pemberdayaan masyarakat sekitar
perusahaan.
Prinsip
dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada Allah SWT sebagai Rabb dari alam
semesta. Ikrar akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam.
Dan
dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al-jaatsiyah:13)
Rabb,
yang seringkali diterjemahkan
“Tuhan” dalam bahasa Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara
lain “pemelihara (al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik),yang
memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid) dan wali (al-wali). Konsep ani
bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah adalah
satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya
menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya
(sunatullah).
Dengan
keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka
konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi
keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan
akhirat. Ayat 77 surat al-Qashas mengingatkan manusia untuk mencari
kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Artinya, urusan dunia
merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat. Orang bisa
berkompetisi dalam kebaikan untuk urusab dunia, tetapi sejatinya mereka sedang
berlomba-lomba mencapai kebaikan di akhirat.
Islam
pun sesungguhnya menerima motif-motif berproduksi seperti pola pikir ekonomi
konvensional tadi. Hanya bedanya, lebih jauh Islam juga menjelaskan nilai-nilai
moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu, Islam menjelaskan
mengapa produksi harus dilakukan. Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah
atau wakil Allah dimuka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan
jalan beribadah kepada-Nya. Dalam QS. Al-An’am(6) ayat 165 Allah berfirman:
“Dan
Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.
Pernyataan
senada juga terdapat pada QS. Yunus (10) ayat 14:
“Kemudian
kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) dimuka bumi sesudah mereka,
supaya kami memerhatikan bagiaman kamu berbuat.”
Islam
juga mengajarkan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang banyak manfaatnya
bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak
mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau berusaha. Dengan demikian,
bekerja dan berusaha itu menempati posisi dan peranan sangat penting dalam
Islam. Sangatlah sulit untuk membayangkan seseorang yang tidak bekerja dan
berusaha, terlepas dari bentuk dan jenis pekerjaanya, dapat menjalankan
fungsinya sebagai khalifatullah yang membawa rahmatan lil alamin inilah,
seseorang produsen tentu tidak akan mengabaikan masalah eksternalitas seperti
pencemaran.
Bagi
Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk di konsumsi sendiri atau di
jual ke pasar. Dua motivasi itu belum cukup, karena masih terbatas pada fungsi
ekonomi. Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula
mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam QS. Al-Hadid(57) ayat 7:
“Berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar.”
Kita
harus melakukan hal ini karena memang dalam sebagian harta kita melekat hak
orang miskin, baik yang meminta maupun tidak meminta.(QS.51:19 dan QS.70:25).
Agar mampu mengemban fungsi sosial seoptimal mungkin, kegiatan produksi harus
melampaui surplus untuk mencukupi keperluan konsutif dan meraih keuntungan
finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial.
Melalui
konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua garis optimalisasi.
Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumberdaya insani ke
arah pencapaian kondisi full employment, dimana setiap orang bekerja dan
menghasilkan karya kecuali mereka yang “udzur syar’i” seperti sakit dan
lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer
(dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier
(tahsiniyyat) secara proposional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya
memproduksikan sesuatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib).
Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu,
swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain.
Pada
prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan
orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang,
sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi Islam., produksi
yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif, tidak
dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah artinya
produk yang menggunung jika hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang
yang memiliki uang banyak.
Sebagai
dasar modal berproduksi, Allah telah menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia,
untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Hal ini terdapat
dalam Surat Al-Baqarah ayat 22:
“Dialah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-kutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
G.
Nilai-nilai Islam dalam berproduksi
Upaya
produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila
produsen mengaplikasikan nilai-nilai islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan
produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami. Metwally
mengatakan, “perbedaan dari perusahan-perusahan non muslim tak hanya pada
tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.
Nilai-nilai
islam yng relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalm
ekonomi islam, yaitu: khilafah, adil, dan takaful.secara lebih rinci
nilai-nilai islam dalam produksi meliputi:
1. Berwawasan jangka panjang, yaitu
berorientasi kepada tujuan akhirat;
2. Menepati janji dan kontrak, baik
dalam lingkup internal atau eksternal;
3. Memenuhi takran, ketepatan,
kelugasan dan kebenaran;
4. Berpegang teguh pada kedisiplinan
dan dinamis;
5. Memuliakan prestasi/produktifitas;
6. Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku
ekonomi;
7. Menghormati hak milik individu;
8. Mengikuti syarta sah dan rukun
akad/transaksi;
9. Adil dalam bertransaksi;
10. Memiliki wawasan social;
11. Pembayaran upah tepat waktu dan
layak;
12. Menghindari jenis dan proses
produksi yang diharamkan dalm islam.
Penerapan
nilai-nilai diatas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi
produsen, tetapi sekaligus mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah
yang diproleh oleh produsen merupakan satu mashlahah yang akan member
kontribusi bagi tercapinya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan
memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga
diakhirat.
H.
Prilaku Produsen Muslim Vs Non Muslim
Muhammad
(2004) berpendapat bahwa sistem ekonomi Islami digambarkan seperti bangunan
dengan atap akhlak. Akhlak akan mendasari bagi seluruh aktivitas ekonomi,
termasuk aktivitas ekonomi produksi. Menurut Qardhawi dikatakan, bahwa:
“Akhlak
merupakan hal yang utama dalam produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin,
baik secara individu maupun secara bersama-sama, yaitu bekerja pada bidang yang
dihalalkan oleh Allah swt, dan tidak melampaui apa yang diharamkannya.”
Meskipun
ruang lingkup yang halal itu sangat luas, akan tetapi sebagian besar manusia
sering dikalahkan oleh ketamakan dan kerakusan. Mereka tidak merasa cukup
dengan yang banyak karena mereka mementingkan kebutuhan dan hawa nafsu tanpa
melihat adanya suatu akibat yang akan merusak atau merugikan orang lain.
Tergiur dengan kenikmatan sesaat. Hal ini dikatakan sebagai perbuatan yang
melampaui batas, yang demikian inilah termasuk kategori orang-orang yang zalim.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang
zalim. (Al Baqarah: 229)
Seorang
produsen muslim harus berbeda dari produsen non muslim yang tidak memperdulikan
batas-batas halal dan haram, mementingkan keuntungan yang maksimum semata,
tidak melihat apakah produk mereka memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah
buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan
etika ataukah tidak. Akan tetapi seorang muslim harus memproduksi yang halal
dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma
dan etika serta akhlak yang mulia.
“Seorang
muslim tidak boleh memudharatkan diriya sendiri dan orang lain, tidak boleh
memudharatkan dan saling memudharatkan dalam islam. “Barang siap
dalam Islam yang memprakasai suatu perbuatan yag buruk, maka baginya dosa dan
dosa yang mengerjakannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi,
Nasa’I, dan Ibnu Majah dari Jarir).”
Sangat
diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta
segala sesuatu yang menghilangkan identitas umat, merusak nilai-nilai agama,
menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan
kepada kebatilan, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat, merusak
kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum. Produser hanya mementingkan
kekayaan uang dan pendapatan yang maksimum semata, tidak melihat halal dan
haram serta tidak mengindahkan aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
agama.
Dari
penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bahwa norma dan etika seorang
produsen muslim adalah:
1. Norma Produsen Muslim
a.
Menghindari
sifat tamak dan rakus
b.
Tidak
melampaui batas serta tidak berbuat zhalim
c.
Harus
memperhatikan apakah produk itu memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah
buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan
etika ataukah tidak.
d.
Seorang
muslim harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun
masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia.
2. Etika Produsen Muslim
a. Memperhatikan halal dan haram.
b. Tidak mementingkan keuntungan
semata.
c. diharamkan memproduksi segala
sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang menghilangkan
identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan pada hal-hal yang
sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan kepada kebatilan, mendekatkan
dunia dan menjauhkan akhirat, merusak kesejahteraan individu dan kesejahteraan
umum.
Jelaslah
terlihat bahwa produsen muslim harus memperhatikan semua aturan yang telah
ditetapkan sesuai dengan ajaran islam, sementara produsen non muslim tidak
mempunyai aturan-aturan seperti yang tersebut diatas.
I.
Pola Produksi
Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan
(altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan, pertimbangan
perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given
demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai
landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas
produksi. Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusalas arikan kebebasan
untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada output yang menjadi
permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil
masyarakat terabaikan.
Dari sudut pandang fungsional, produksi
atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional yang
dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa
sehingga dapat mencapai nilai tambah (value added). Dari fungsinya demikian,
produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi,
berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk
diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa yang memproduksi?
Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai
ketujuh aktivitas produksi.
1. Apa
yang diproduksi. Terdapat dua pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan
macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi
masyarakat (primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif bagi perusahan
dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi)
2. Berapa
kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko. Jumlah produksi
di pengaruhi dua faktor; intern dan ekstern; faktor intern meliputi sarana dan
prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal, faktor SDM, faktor sumber daya
lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya jumlah kebutuhan masyarakat,
kebutuhan ekonomi, market share yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum
dan regulasi.
3. Kapan
produksi dilakukan. Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan
eksternal atau menunggu tingkat kesiapan perusahaan.
4. Mengapa
suatu produk diproduksi
a. Alasan
ekonomi
b.
Alasan kemanusiaan
c. Alasan
politik
5. Dimana
produksi itu dilakukan
a.
Kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
b.
Murahnya sumber-sumber ekonomi
c. Akses
pasar yang efektif dan efisien
d. Biaya-biaya lainnya
yang efisien
6. Bagaimana
proses produksi dilakukan: input- proses – out put - out come
7. Siapa
yang memproduksi; negara, kelompok masyarakat, indovidu. Dengan demikian
masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa jumlahnya (how much),
bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi tersebut (for whom), yang
merupakan pertanyaan umum dalam teori produksi tentu saja merujuk pada
motifasi-motifasi Islam dalam produksi.
J.
Etika Produksi
Etika sebagai praktis berarti :
nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau justru tidak
dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah
pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang
dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan. Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian
moralitas. Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu etika
deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif menjelaskan
pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan
dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia. Kedua, etika normatif
(normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti
yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia. Ketiga,
metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa
yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk
membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang
dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat
tanggapan-tanggapan kesusilaan.
Apa yang mendasari para pengambil
keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam
bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan
sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral.
Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat
mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oragnisasi
ke arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat
etika perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu
organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat
keputusan.
Jika kita berbicara tentang nilai dan
akhlak dalam ekonomi dan mu’amalah Islam, maka tampak secara jelas di hadapan
kita empat nilai utama,yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan dan
Pertengahan. Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi
ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat
menyeluruh yang tampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran
Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dan
dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang harta berupa
produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi10. Raafik Isaa Beekun dalam
bukunya yang berjudul Islamic Bussines Ethics menyebutkan paling tidak ada
sejumlah parameter kunci system etika Islam yang dapat dirangkum sbb:
a. Berbagai
tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang
melakukannya. Allah Maha Kuasa an mengetahui apapun niat kita sepenuhnya secara
sempurna.
b. Niat
baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang
halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal.
c. Islam
memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan
apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab keadilan.
d. PercayakepadaAllah
SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali
Allah.
e. Keputusan
yang menguntungkan kelompok mamyoritas ataupun minoritas secara langsung
bersifat etis dalam dirinya.etis bukanlahpermainan mengenai jumlah.
f. Islam
mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai system yang
tertutup, dan berorientasi diri sendiri.Egoisme tidak mendapat tempat dalam
ajaran Islam.
g. Keputusan
etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an
danalam semesta.
h. Tidak
seperti system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat
manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan
ini. Dengan berprilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum Muslim
harus mampu membuktikan ketaatannya kepada Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kegiatan
produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan
produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para
konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula
sebaliknya. Untuk mengahasilkan barang dan jasa kegiatan produksi
melibatkan banyak faktor produksi. Beberapa implikasi mendasar bagi
kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain : Seluruh
kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang
Islami, kegiatan produksi harus memperhatikan aspek
sosial-kemasyarakatan, permasalahan ekonomi muncul bukan saja karena
kelangkaan tetapi lebih kompleks.
Produksi adalah menciptakan manfaat dan
bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu
untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai
kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai
pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada
misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau
mengeksploitasi (ekstraktif).
Dalam konsep ekonomi konvensional
(kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya,
berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi
dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan
utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang
selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah
dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Dari
pembahasan di atas bahwa dalam melakukan kegiatan produksi banyak faktor yang
harus diperhatikan. Berbeda antara ilmu ekonomi kapitalis, sosialis, dan
ekonomi islam dalam mendefinisikan produksi, tujuan, dan faktor-faktor produksi
tersenut.
Pemenuhan
terhadap kebutuhan individu merupakan analisa penting yang digunakan para
ekonom kapitalis untuk mendefinisikan lebih lanjut dalam hal produksi, dan
sebaliknya bagi kaum sosialis. Berbeda diantara keduanya, islam telah
memberikan ruang yang berbeda dalam memandang kegiatan produksi. Bagi seorang
muslim tidak hanya melihat manfaat pada dirinya sendiri, namun apakah hal
tersebut (berproduksi) mempunyai nilai guna bagi yang lain, dan terdapat unsur
maslahah atau tidak. Karena hal ini dipandang dari tanggung jawab manusia
terhadap dirinya, lingkungan sosialnya, dan serta tanggung jawabnya terhadap
Allah swt. Tujuan seorang muslim tidak hanya bersifat sementara (duniawi)
tetapi sifatnya juga lebih jauh ke depan, yaitu pencapaian kesejahteraan
ukhrawi .
Dan
begitu juga dalam berproduksi islam tidak hanya menganjurkan hal-hal yang
bersifat halal, tetapi juga harus mengandung nilai yang baik (thoyyib).
B.
Saran
Setiap
kegiatan produksi hendaknya ditujukan untuk
meningkatkan manfaat dari suatu materi. Produksi harus memerhatikan norma
dan etika yang telah ditetapkan dalam Islam. Penggunaan
faktor-faktor produksi secara efisien terutama
yang berasal dari sumberdaya bertujuan untuk menjaga keseimbangan
alam. Penentuan upah harus didasarkan pada
beberapa kriteria seperti kebutuhan hidup, roduktivitas
dan kemampuan perusahaan.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Agustianto.Etika
Produksi Dalam Islam
3. Setiawan.
Instrumen Ekonomi Syariah Untuk Transformasi Masyarakat
4. Ali
Hasan. Meneguh Kembali Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam
6. Bambang
Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan di Indonesia.
7. Hermant
Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill Khaerul.
Produksi dan Konsumsi Dala Al Qur’an,
8. Khatimah
Husnul , Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net
9. M.A.
Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”,
10. Readings
in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992),
LAMPIRAN PERSENTASI PPT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar