Jumat, 26 Desember 2014

SISTEM EKONOMI ISLAM (PROSES PRODUKSI)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas berkat rahmat serta karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan Makalah Sistem Ekonomi Islam dengan juduk “ PROSES PRODUKSI”.

Makalah ini disusun sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban  tertulis dalam  rangka memenuhi persyaratan tugas Kelompok mata kuliah Sistem Ekonomi Islam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Ekonomi Semester VI ( kelas 6C sore ) Universitas Islam Syekh Yusuf  Tangerang.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, baik dalam penyajian materi maupun dalam pemeparannya. Hal tersebut disebabkan semata-mata karena keterbatasan dan kemampuan penyusun. Karena itu, penyusun mengharapkan saran serta masukan yang membangun guna menyempurnakan makalah ini.

Atas segala bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penyusun, sekali lagi penyusun mengucapkan terima kasih semoga Allah SWT membalasnya dengan berlipat ganda.

Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun, umumnya bagi para pembaca dan semoga menjadi bahan inspirasi bagi generasi selanjutnya.



Tangerang,    Maret  2014


                    Penyusun

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang                                                                             ( 1 )
B.       Tujuan Penyusunan Makalah                                                         ( 2 )
C.       Rumusan Masalah                                                                        ( 3 )
D.       Metode Pengumpulan Data                                                           ( 3 )

BAB II PEMBAHASAN

A.       Pengertian Produksi                                                                     ( 4 )
B.       Pentingnya Produksi                                                                     ( 8 )
C.       Faktor-faktor Produksi                                                                ( 9 )
D.       Tujuan dan Motif  Produksi                                                          (19)
E.        Prinsip-prinsip Produksi dalam Islam                                            (23)
F.        Produksi Dalam Pandangan Islam                                                (26)
G.       Nilai-nilai Islam dalam berproduksi                                               (29)
H.       Prilaku Produsen Muslim Vs Non Muslim                                    (30)
I.          Pola Produksi                                                                              (32)
J.          Etika Produksi                                                                             (34)

BAB III PENUTUP

A.       Kesimpulan                                                                                  (37)
B.       Saran                                                                                            (38)

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Al-Qur’an menggunakan konsep produksi barang dalam artian luas. Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi
suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.

Produksi adalah sebuah proses yang telah terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip bagi kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam. Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi  melibatkan banyak faktor produksi. Fungsi produksi menggambarkan hubungan antar jumlah input dengan output yang dapat dihasilkan dalam satu waktu periode tertentu.

Dalam teori produksi memberikan penjelasan tentang perilaku produsen tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan keuntungannya maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Dimana Islam mengakui pemilikian pribadi  dalam batas-batas tertentu  termasuk pemilikan alat produksi, akan tetapi hak tersebut tidak mutlak.

Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh Hasan Al Banna. Beliau mengutip firman Allah SWT yang mengatakan: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah SWT telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS. Lukman: 20)

Semua sumberdaya yang terdapat di langit dan di bumi disediakan Allah SWT untuk kebutuhan manusia, agar manusia dapat menikmatinya secara sempurna, lahir dan batin, material dan spiritual. Apa yang diungkapkan oleh Hasan Al Banna ini semakin menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi islam lebih luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.

Al-Qur’an juga telah memberikan tuntunan visi bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan sesaat tetapi “merugikan”, melainkan mencari keuntungan yang secara hakikat baik dan berakibat baik pula bagi kesudahannya (pengaruhnya). Salah satu aktifitas bisnis dalam hidup ini adalah adanya aktifitas produksi.

B.   Tujuan Penulisan Makalah
1.    Menambah pengetahuan kita mengenai sistem ekonomi islam khusunya tentang proses produksi dalam islam, sehingga kita tidak hanya sekedar  membacanya, tetapi bisa kita implementasikan dalam dunia pendidikan dan dalam kehidupan sehari-hari.
2.    Dapat melatih Mahasiswa dalam pengambangan pola fikir.
3.    Selain itu juga, tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk melengkapi nilai tugas dalam mata Sistem Ekonomi Islam.
C.   Rumusan Masalah

Masalah yang dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :
A.      Pengertian Produksi
B.       Pentingnya Produksi
C.       Faktor-faktor Produksi 
D.      Tujuan dan Motif  Produksi
E.       Prinsip-prinsip Produksi dalam Islam
F.        Produksi Dalam Pandangan Islam
G.      Nilai-nilai Islam dalam berproduksi
H.      Prilaku Produsen Muslim Vs Non Muslim
I.         Pola Produksi
J.         Etika Produksi

D.   Metode Pengumpulan Data

Dalam  menyusun makalah  ini penyusun menggunakan metode study literatur yaitu dengan cara mengumpulkan, menganalisis bukti-bukti tertentu untuk memperoleh fakta dan kesimpulan yang kuat. Dimana pengumpulan data diperoleh dari berbagai macam sumber sebagai bahan untuk dijadikan suatu makalah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Produksi

Al Qur’an menggunakan konsep produksi barang dalam artian  luas. Al Qur’an menekankan manfaat dari barang yang diproduksi. Memproduksi suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk  memenuhi  kebutuhan  manusia,  bukan  untuk  memproduksi  barang  mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenagakerja yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif.

Namun demikian, Al Qur’an memberi kebebasan yang luas bagi manusia untuk berusaha memperoleh  kekayaan  yang  lebih  banyak  lagi  dalam menuntut  kehidupan ekonomi. Dengan memberikan  landasan  rohani  bagi manusia  sehingga  sifat manusia yang semula tamak dan mementingkan diri sendiri menjadi terkendali.
Dalam  surat  al  Ma’aarij  dijelaskan  ada  beberapa  sifat  alami  manusia  yang menjadi azas semua kegiatan ekonomi yaitu : “sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.”

Sifat  tamak  manusia  menjadikan  manusia  berkeluh  kesah,  tidak  sabar  dan gelisah  dalam  perjuangan  mendapatkan  kekayaan. Dengan  begitu  akan  memacu manusia  untuk  melakukan  kegiatan  yang  produktif.  Manusia  akan  giat  untuk memuaskan  kebutuhannya  yang  terus  bertambah,  sehingga  akibatnya  manusia cenderung melakukan  kerusakan  (mafsadat)  di muka  bumi. Dari  sifat  dasar manusia yang  tamak  itu  pula  menyebabkan  manusia  memiliki  dorongan  yang  kuat  dan bimbingan serta arahan yang benar dan pasti akan menjadikan manusia memiliki sifat mulia. Kemajuan manusia akan terus berlanjut sepanjang mereka terus berjuang untuk memenuhi  kebutuhan hidupnya. Daya  ciptanya yang  tinggi  akan  terus menghasilkan produk-produk baru dan metode serta teknik produksi yang makin sempurna, sehingga mampu menjaga taraf hidup manusia seiring dengan perubahan zaman. Sifat-sifat dasar manusia dijelaskan dalam surat lain yaitu Ali Imran ayat 14 yang artinya : “Dijadikan indah  pada  (pandangan)  manusia  kecintaan  kepada  apa-apa  yang  diinginkan, yaitu  :  wanita-wanita,  anak-anak,  harta  yang  banyak  dari  jenis  emas, perak, kuda pilihan,binatang-binatang  ternak dan  sawah  ladang.  Itulah  kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga).”

Keiinginan yang tidak terbatas untuk selalu dipenuhi dan memuaskan kehendak pada manusia semakin lama akan semakin tinggi. Karena itu jika tidak terdapat arahan yang  baik,  hal  itu  akan  mendorong  manusia  melakukan  kerusakan  di  muka  bumi, seperti yang terjadi saat ini. Al-Qur’an  memberikan  pandangan  hidup  yang  seimbang.  Di  satu  sisi  Islam membantu  pertumbuhan  yang  sehat  dan  mulia  bagi  masyarakat.  Di  sisi  lain  Islam memberi  rangsangan  terhadap adanya aktivitas produktif. Karena  itu  Islam membuka kesempatan bagi riset dan penelitian yang sekiranya dapat meningkatkan kesejahteraan manusia.

Ada  beberapa  sabda  Rasulullah  yang  menegaskan  pentingnya  ikhtiar  untuk memperoleh kebutuhan materi dalam kehidupan, yaitu :

·           “Memperoleh  penghidupan  yang  halal merupakan  kewajiban  yang  paling penting  setelah kewajiban menunaikan shalat.”
·           “Apabila telah selesai kau tunaikan shalat Subuh, janganlah kamu tidur hingga kamu sendiri telah berusaha untuk mendapatkan nafkah.”
·           “Terdapat  dosa-dosa  tertentu  yang  hanya  dapat  dihapuskan  dengan  berusaha secara  tetap dalam masalah ekonomi.”

Dari  beberapa hadits  tersebut menunjukkan  bahwa manusia dianjurkan untuk selalu  berusaha  untuk memenuhi  kebutuhan  hidup  yang  salah  satunya  dengan  cara berproduksi.

Produksi  adalah  menciptakan  manfaat  dan  bukan  menciptakan  materi. Maksudnya  adalah  bahwa manusia mengolah materi  itu  untuk mencukupi  berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia  dalam  “memproduksi”  tidak  sampai  pada  merubah  substansi  benda.  Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan  mengeluarkan  atau  mengeksploitasi  (ekstraktif).  Memindahkannya  dari  tempat yang tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkannya, atau menjaganya dengan cara menyimpan agar bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang atau mengolahnya dengan  memasukkan  bahan-bahan  tertentu,  menutupi  kebutuhan  tertentu,  atau mengubahnya  dari  satu  bentuk  menjadi  bentuk  yang  lainnya  dengan  melakukan sterilisasi,  pemintalan,  pengukiran,  atau  penggilingan,  dan  sebagainya.  Atau mencampurnya  dengan  cara  tertentu  agar menjadi  sesuatu  yang  baru. Hal  itu  semua hanya mengubah  kondisi materi,  sehingga  pada  kondisi  yang  barupun  substansinya tetap tidak berubah.

Prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan  ekonomi. Bahkan dalam  sistem kapitalis  terdapat    seruan untuk memproduksi  barang  dan  jasa  yang  didasarkan  atas  azas  kesejahteraan  ekonomi. Keunikan  konsep  Islam  mengenai  kesejahteraan  ekonomi  terletak  pada  kenyataan bahwa hal  itu  tidak dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum  lebih  luas yang  menyangkut  persoalan-persoalan  moral,  pendidikan,  agama  dan  banyak  hal lainnya. Dalam  ilmu  ekonomi modern,  kesejahteraan  ekonomi  diukur  dari  segi  uang. Seperti  ungkapan  Profesor  Pigou  bahwa  :  “Kesejahteraan  ekonomi  kira-kira  dapat didefinisikan sebagai bagian kesejahteraan yang dapat dikaitkan dengan alat pengukur uang.”
Dalam sistem produksi Islam konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas. Menurut Afzalur Rahman dalam bukunya Doktrin Ekonomi Islam, konsep  kesejahteraan  ekonomi  Islam  terdiri  dari  bertambahnya  pendapatan  yang diakibatkan  oleh  meningkatnya  produksi  dari  hanya  barang-barang  yang  berfaedah melalui pemanfaatan  sumber-sumber  daya  secara maksimum  –baik manusia maupun benda-  demikian  juga  melalui  ikut  sertanya  jumlah  maksimum  orang  dalam  proses produksi.

Dengan demikian, perbaikan sistem produksi dalam Islam tidak hanya berarti meningkatnya  pendapatan,  yang  dapat  diukur  dari  segi  uang,  tetapi  juga  perbaikan dalam memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan kita dengan usaha minimal tetapi tetap memerhatikan  tuntunan  perintah-perintah  Islam  tentang  konsumsi.  Oleh  karena  itu, dalam  sebuah  negara  Islam  kenaikan  volume  produksi  saja  tidak  akan  menjamin kesejahteraan  rakyat  secara  maksimum.  Mutu  barang-barang  yang  diproduksi  yang tunduk  pada  perintah  Al  Qur’an  dan  sunnah,  juga  harus  diperhitungkan  dalam menentukan sifat kesejahteraan ekonomi. Demikian pula kita harus memperhitungkan akibat-akibat  tidak  menguntungkan  yang  akan  terjadi  dalam  hubungannya  dengan perkembangan  ekonomi bahan-bahan makanan dan minuman  terlarang. Suatu negara Islam  tidak hanya  akan menaruh perhatian untuk menaikkan  volume produksi  tetapi juga untuk menjamin ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi. Di negara-negara  kapitalis modern  kita  temukan  perbedaan  yang mencolok  karena  cara produksi dikendalikan oleh segelintir kapitalis.

Oleh karena itu, sistem produksi dalam  suatu negara  Islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif dan  subjektif; kriteria yang objektif akan  tercermin dalam bentuk kesejahteraan  yang  dapat  diukur  dari  segi  uang,  dan  kriteria  subjektif  dalam  bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah kitab suci Al Qur’an dan Sunnah.

B.       Pentingnya Produksi

Pentingnya  peranan  produksi  dalam  memakmurkan  kehidupan  suatu  bangsa dan taraf hidup manusia, disebutkan dalam beberapa ayat dan hadits, seperti : Surat al Qashash ayat 73 : “Supaya kamu mencari sebagian dari karuniaNya.”.
Surat ar Rum ayat 23 :“Dan usahamu mencari bagian dari karuniaNya.”  

Apabila dikaji secara  terperinci dalam AlQur’an, maka kita akan mendapatkan bahwa  penekanan  atas  usaha  manusia  untuk  memperoleh  sumber  penghidupan merupakan salah satu prinsip ekonomi yang mendasar di dalam Islam.

Dalam berbagai ayat AlQur’an telah merujuk secara singkat berbagai cara yang dibolehkan  bagi manusia untuk memanfaatkan  sumber  alam  yang  tak  ternatas dalam rangka  memenuhi  kebutuhan  manusia  yang  tak  terbatas.  Al  Qur’an  bukan  hanya membenarkan dan mengakui kenyataan bahwa umat Islam harus terus berjuang secara sungguh-sungguh  dan  terus mengingatkan  keadaan  sosial  dan  ekonomi,  tetapi  telah juga  mendorong  untuk meningkatkan cara dan teknik produksi agar orang/bangsa itu tidak ketinggalan dengan orang/bangsa lain.

Tujuan utama Allah menciptakan bumi  ialah untuk diberikan kepada manusia agar dapat mempergunakan sumber-sumber yang ada di bumi untuk memperoleh rizki. Tersedianya  rizki  berkaitan  erat  dengan  usaha  manusia.  Usaha  yang  keras  akan menghasilkan  sesuatu  yang  optimal,  ganjaran  dan  kemurahan  dan  keberhasilan  yang tidak ada batasnya.

Bagi  Islam, memproduksi  sesuatu  bukanlah  sekedar untuk dikonsumsi  sendiri atau dijual ke pasar. Dua motivasi itu belum cukup karena masih terbatas pada fungsi ekonomi.  Islam menekankan  bahwa  setiap  kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial (Q.S. Al Hadid (57): 7).
Agar mampu mengemban  fungsi  sosial  seoptimal mungkin,  kegiatan  produksi  harus melampaui  surplus  untuk mencukupi  kebutuhan  konsumtif  dan meraih  keuntungan finansial, sehingga bisaberkontribusi kehidupan sosial. Melalui  konsep  ini,  kegiatan  produksi  harus  bergerak  di  atas  dua  garis  optimalisasi. Optimalisasi pertama  adalah mengupayakan  berfungsinya  sumber dayainsani  ke  arah pencapaian  kondisi  full  employment  (tanpa  pengangguran),  dimana  setiap  orang menghasilkan karya kecuali mereka yang udzur syar’i (sakit atau lumpuh). Optimalisasi kedua memproduksi berdasarkan skala prioritas yaitu kebutuhan primer  (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan  kebutuhan  tersier  (tahsiniyyat)  secara proporsional.

C.           Faktor-faktor Produksi 

Ada beberapa jenis faktor produksi yaitu :
1.     Tanah
Tanah  mengandung  pengertian  yang  luas,  yaitu  termasuk  semua  sumber yang  kita  peroleh  dari  udara,  laut,  gunung,  dan  sebagainya,  sampai  keadaan geografi, angin, dan iklim yang terkandung dalam tanah. Termasuk dalam faktor produksi tanah adalah :

a)    Bumi  (tanah)  merupakan  permukaan  tanah  yang  di  atasnya  kita  dapat berjalan, mendirikan bangunan, rumah, perusahaan.
b)   Mineral, seperti logam, bebatuan dan sebagainya yang terkandung di dalam tanah yang juga dapat dimanfaatkan oleh manusia.
c)    Gunung,  merupakan  suatu  sumber  lain  yang menjadi  sumber  tenaga  asli yang  membantu  dalam  mengeluarkan  harta  kekayaan.  Gunung-gunung berfungsi  sebagai  penadah  hujan  dan  menajdi  aliran  sungai-sungai  dan melaluinya semua kehidupan mendapatkan rizki masing-masing.
d)   Hutan, merupakan sumber kekayaan alam yang penting. Hutan memberikan bahan  api,  bahan-bahan mentah untuk  industri  kertas,  damar,  perkapalan, perabotan rumah tangga, dan sebagainya.
e)    Hewan, mempunyai kegunaan memberikan daging, susu, dan  lemak untuk tujuan ekonomi, industri dan perhiasan. Sebagian lagi digunakan untuk kerja dan pengangkutan.

Baik  Al  Qur’an  maupun  sunnah  banyak  memberikan  tekanan  pada pembudidayaan  tanah  secara  baik.  Dengan  demikian,  Al  Qur’an  menaruh perhatian akan perlunya mengubah tanah kosong menjadi kebun-kebun dengan mengadakan  pengaturan  pengairan,  dan menanaminya  dengan  tanaman  yang
baik. Seperti KalamNya dalam surat As Sajadah ayat 27 : “Dan  apakah mereka  tidak memerhatikan  bahwasanya Kami menghalau hujan  ke  bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan tanam-tanaman yang daripadanya dapat makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri…”

Tanah dapat dipandang dari dua sisi yaitu  :
1.    Tanah sebagai Sumber Daya Alam
Seorang Muslim  dapat memperoleh  hak milik  atas  sumber-sumber daya  alam  setelah  memenuhi  kewajibannya  terhadap  masyarakat. Penggunaan dan pemeliharaan  sumber-sumber daya alam  itu dapat menimbulkan  dua  komponen  penghasilan,  yaitu  :  (a)  penghasilan dari sumber-sumber daya alam sendiri (yaitu sewa ekonomis murni) dan  (b)  penghasilan  dari  perbaikan  dalam  penggunaan  sumber-sumber  daya  alam melalui  kerja manusia  dan modal.  Jadi manusia berhak  untuk  memanfaatkan  dan  memiliki  tanah  untuk dipergunakan dalam mencari nafkah dan menggunakannya  sebagai salah satu faktor produksi.

2.    Tanah sebagai Sumber Daya yang Dapat Habis (Exhaustable).
Menurut  pandangan  Islam  sumber  daya  yang  dapat  habis  adalah milik  generasi  kini  maupun  generasi-generasi  masa  yang  akan datang. Generasi kini tidak berhak untuk menyalahgunakan sumber-sumber  daya  yang  dapat  habis  sehingga menimbulkan  bahaya  bagi generasi  yang  akan  datang.  Dari  analisis  tersebut,  hipotesis  atau kebijaksanaan pedoman dapat disusun sebagai berikut :

1)        Pembangunan  pertanian  pada  negara-negara  Islam  dapat ditingkatkan  melalui  metode  penanaman  yang  intensif  dan ekstensif  jika  dilengkapi  dengan  suatu  program  pendidikan moral, berdasarkan ajaran Islam.
2)        Penghasilan yang diperoleh dari penggunaan sumber daya yang dapat  habis  (exhaustable  resources)  lebih  digunakan  untuk pembangunan lembaga-lembaga sosial (seperti universitas, rumah sakit) dan untuk  infrastruktur  fisik daripada  konsumsi  sekarang ini
3)        Sewa  ekonomis murni  boleh  lebih  digunakan  untuk memenuhi tingkat pengeluaran konsumsi sekarang ini.

2.          Tenaga Kerja
Tenaga kerja atau buruh merupakan faktor produksi yang diakui di setiap sistem  ekonomi  terlepas  dari  kecenderungan  ideologi  mereka.  Kekhususan perburuhan seperti kemusnahan, keadaan yang  tidak  terpisahkan dari buruh itu  sendiri,  ketidakpekaan  jangka  pendek  terhadap  permintaan  buruh,  dan yang mempunyai  sikap  dalam  penentuan  upah, merupakan  hal  yang  sama pada semua sistem.
Tenaga kerja adalah segala usaha dan ikhtiar yang dilakukan oleh anggota badan  atau  pikiran  untuk  mendapatkan  imbalan  yang  pantas.  Termasuk semua jenis kerja yang dilakukan fisik maupun pikiran.

Manusia  diciptakan  untuk  bekerja  dan  mencari  penghidupan  masing-masing. Seperti disebutkan dalam surat al Balad ayat 4 : “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia padahal dia dalam kesusahan.” Kabad  berarti  kesusahan,  kesukaran, perjuangan dan  kesulitan  akibat  bekerja keras. Ini merupakan suatu cobaan bagi manusia yaitu dia ditakdirkan berada pada  kedudukan  yang  tinggi  (mulia)  tetapi  kemajuan  tersebut dapat dicapai melalui ketekunan dan bekerja keras. Di samping itu pengertian “kabad” juga menunjukkan  bahwa  manusia  hendaknya  berupaya  untuk  melakukan  dan menanggung  segala  kesukaran  dan  kesusahan  dalam  perjuangan  untuk mencapai tujuan.

Rasulullah  saw,  senantiasa  menyuruh  umatnya  bekerja  dan  tidak menyukai manusia yang bergantung kepada kelebihan saja.

Dalam  Islam,  buruh  bukan  hanya  suatu  jumlah  usaha  atau  jasa  abstrak yang  ditawarkan  untuk  dijual  pada  para  pencari  tenaga  kerja. Mereka  yang mempekerjakan  buruh mempunyai  tanggung  jawab moral dan  sosial. Dalam kenyataannya,  seorang  pekerja  modern  memiliki  tenaga  kerja  yang  berhak dijualnya dengan harga setinggi mungkin (upah tinggi). Tetapi dalam Islam ia tidak  mutlak  bebas  untuk  berbuat  apa  saja  yang  dikehendakinya  dengan tenaga kerjanya itu. Baik pekerja maupun majikan tidak boleh saling memeras. Semua  tanggung  jawab  buruh  tidak  berakhir  pada  waktu  seorang  pekerja meninggalkan pabrik majikannya. Ia mempunyai tanggung jawab moral untuk melindungi  kepentingan  yang  sah,  baik  kepentingan  para  majikan  maupun para pekerja yang kurang beruntung.

Dengan  demikian,  dalam  Islam  buruh  digunakan  dalam  arti  yang  lebih luas  namun  lebih  terbatas.  Lebih  luas,  karena  hanya  memandang  pada penggunaan  jasa buruh di  luar batas-batas pertimbangan keuangan. Terbatas
dalam arti bahwa seorang pekerja tidak secara mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu.  Tenaga kerja secara umum dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu :

Ø  Tenaga kerja kasar/buruh kasar, misalnya pekerja bangunan,   pandai besi,  dan  sebagainya. Allah memuliakan  hambanya meskipun  yang bekerja  sebagai  pekerja  kasar.  Banyak  ayat  dan  riwayat  yang membahas  tentang  kegiatan  para  nabi  terkait  dengan  peghargaan terhadap  para  pekerja  kasar  –pekerja/tukang  Nabi  Sulaiman,  Nabi Hud dengan pembuatan kapal, dan sebagainya.
Ø  Tenaga  kerja  terdidik.  Dalam  al  Qur’an  disebutkan  tentang  tenaga ahli.  Cerita  tentang  Nabi  Yusuf  yang  diakui  pengetahuan  dan kejujurannya  oleh  raja  yang  mempercayakan  tugas  mengurus  dan menjaga gudang padi dan  sebagainya. Hal  itu menunjukkan  bahwa faktor  keahlian  dan  pendidikan  menjadi  sangat  penting  dalam bekerja.

Kriteria  Pemilihan Tenaga Kerja
Pemilihan tenaga kerja tergantung ketersediaan/penawaran tenaga kerja. Sedangkan penawaran tenaga kerja tergantung pada beberapa faktor :

a)        Kecakapan tenaga kerja, merupakan keahlian dan ketrampilan yang dimiliki oleh  tenaga  kerja.  Islam  menjunjung  tinggi  hasil  kerja  yang  cakap  dan memerintahkan  umat  Islam  untuk  mengajarkan  semua  jenis  kerja  dengan tekun  dan  sempurna.  Kecakapan  tenaga  kerja  tergantung  pada  tiga  faktor yaitu : kesehatan fisik, mental dan moral serta pendidikan dan pelatihan bagi para pekerja.
b)        Mobilisasi  tenaga  kerja,  merupakan  pergerakan  tenaga  kerja  dari  suatu kawasan  geografi  ke  kawasan  yang  lain.  Mobilisasi  terkait  erat  dengan kondisi  ekonomi  pekerja. Mobilisasi  dipengaruhi  oleh  faktor  tingkat  upah, dimana  biasanya  pekerja  akan  berupaya  untuk mencari  tempat  kerja  yang memberikan  tingkat  upah  lebih  tinggi.  Al  Qur’an  membolehkan  adanya mobilisasi tenaga kerja demi untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
c)        Penduduk,  jumlah penduduk merupakan  faktor yang sangat memengaruhi terhadap  penawaran  tenaga  kerja.  Idealnya  pertumbuhan  penduduk seiring/seimbang  dengan  pertumbuhan  lapangan  kerja  (pertumbuhan ekonomi).


Kebebasan Bekerja
Islam  memberikan  kebebasan  dalam  hal  mencari  lapangan  pekerjaan baik macam maupun wilayah  kerja  demi mendapatkan  kehidupan  yang  lebih baik.  Namun  Islam  tetap menggariskan  bahwa  ada  pekerjaan  yang  halal  dan haram.

Kemuliaan Bekerja
Setiap  pekerjaan  yang  halal  terbuka  untuk  semua  orang  tanpa
memandang  warna  kulit,  keturunan  atau  kepercayaan.  Islam  mengajarkan umatnya agar menghormati saudara seagama tanpa memandang pekerjaan dan ia  memberikan  kemuliaan  dan  status  kepada  golongan  buruh.  AlQur’an membuat  banyak  contoh  tentang  kehidupan  para  Rasul  yang  bekerja  dengan tenaga sendiri untuk kehidupannya.

3.          Modal
Modal  merupakan  asset  yang  digunakan  untuk  distribusi  asset  yang berikutnya. Modal dapat memberikan  kepuasan pribadi dan membantu untuk menghasilkan kekayaan yang lebih banyak. Pentingnya  modal  dalam  kehidupan  manusia  ditunjukkan  dalam  Al  Qur’an surat Ali Imran ayat  14 yang artinya :

“Dijadikan  indah  pada  (pandangan) manusia  kecintaan  kepada  apa-apa  yang  diingini, yaitu  :  wanita-wanita,  anak-anak,  harta  yang  banyak  dari  jenis  emas,  perak,  kuda pilihan, binatang-binatang  ternak dan  sawah  lading. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (syurga).”

Kata mataa’u  berarti modal berupa emas dan perak, kuda yang bagus dan ternak (termasuk  bentuk  modal  yang  lain).  Kata  zainu  menunjukkan  kepentingan
modal bagi kehidupan manusia.

Sedangkan Rasulullah menekankan kepentingan modal dalam sabdanya :
“Tidak  boleh  iri  kecuali  kepada  dua  perkara  yaitu  :  orang  yang  hartanya  digunakan untuk  jalan  kebenaran  dan  orang  yang  ilmu pengetahuannya  diamalkan  kepada  orang lain.”
Dari  hadits  tersebut  diketahui    bahwa mencari  ilmu  sama  pentingnya  dengan mencari harta.

Pengumpulan modal
Ada beberapa faktor yang menentukan terhadap pengumpulan modal yaitu :

a)        Peningkatan pendapatan, dapat dilakukan melalui cara yang bersifat wajib : pembayaran zakat dan larangan mengenakan bunga. Sedangkan cara pilihan yaitu dengan penggunaan harta anak yatim, penanaman modal secara tunai dan melalui warisan.Menghindari  sikap  berlebih-lebihan,  dalam  hal  ini
b)        adalah  mengurangi kebiasaan  melakukan  pembelanjaan  yang  tidak  sesuai dengan  kebutuhan, menghindari gaya hidup mewah dan mubazir.
c)        Pembekuan modal,  cara  ini dapat menyebabkan berkurangnya modal yang dapat  digunakan.  Islam  membenci  kegiatan  pembekuan  modal  atau menyimpan harta bukan untuk digunakan dalam kegiatan produktif. Hal ini seperti disampaikan dalam surat Al Ma’arij ayat 18 yang artinya : “Dan menghimpun (harta) lalu menyimpannya (tidak membayarkan zakatnya).”
d)       Keselamatan  dan  keamanan,  dalam  proses  penghimpunan  modal,  perlu adanya rasa aman dan ketentraman dalam negara dimana lokasi penanaman modal  itu  dilakukan.  Bila  ada  jaminan  keselamatan  dan  keamanan  dalam suatu  negara, maka  rakyat  akan  lebih  giat  dalam melakukan  pemupukan modal.

Dalam perspektif  ekonomi  konvensional, modal dapat  tumbuh dari  sebagian pendapatan  yang  ditabungkan  oleh  masyarakat.  Besarnya  tabungan  dipengaruhi oleh  tingkat  bunga. Menurut  ekonom  konvensional,  semakin  tinggi  tingkat  bunga semakin  besar  imbalan  tabungan,  semakin  tinggi  pula  kecenderungan  untuk menabung  dan  sebaliknya.  Menurut  Keynes,  tingkat  bunga  yang  tinggi  akan menekan  kegiatan  ekonomi  dan  menyebabkan  volume  penanaman  modal  yang lebih kecil. Sebagai akibatnya, pendapatan uang yang terkumpul akan mengecil, dan dengan adanya kecenderungan yang sama untuk menabung, volume tabungan akan berkurang.  Kenyataannya  adalah  bahwa  jika  individu-individu  rasional,  mereka mungkin  lebih  banyak menabungkan  penghasilan mereka,  bila  tingkat  bunganya tinggi.  Suatu  tingkat  bunga  yang  tinggi  berarti  lebih  tingginya  imbalan  bagi tabungan.  Oleh  karena  itu,  berdasarkan  alasan-alasan  murni,  orang  akan  lebih banyak menabung.

Yang  terpenting  dalam  hal  ini  ialah  bahwa modal  dapat  juga  tumbuh  dalam perekonomian masyarakat yang bebas bunga. Islam membolehkan adanya laba yang berlaku sebagai insentif untuk menabung. Islam membolehkan dua cara pembentukan modal yang berlawanan yaitu konsumsi sekarang  yang  berkurang  (mengurangi  tingkat  konsumsi  untuk  menabung)  dan konsumsi  mendatang  yang  bertambah.  Dengan  demikian  memungkinkan  modal memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi.

4.   Organisasi
Organisasi  atau  manajemen  merupakan  proses  merencanakan  dan mengarahkan  kegiatan  usaha  perusahaan  untuk  mencapai  tujuan.  Organisasi memegang peranan penting dalam kegiatan produksi. Pentingnya perencanaan dan organisasi dapat dilihat pada hakikat bahwa Allah sendiri adalah perencana yang terbaik. Seperti disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 173 yang artinya :

“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Dialah sebaik-baik pelindung.”  
Peranan  organisasi  dalam  Islam  sangat  penting,  apalagi  jika  dikaitkan  dengan kegiatan  produksi.  Ada  beberapa  ciri  mendasar  yang  harus  dimiliki  oleh organisasi  Islam  terkait  dengan  fungsinya  sebagai  salah  satu  faktor  produksi, yaitu :

a)        Dalam  ekonomi  Islam  yang  pada  hakekatnya  lebih  berdasarkan  ekuiti (equity-based)  daripada  berdasarkan  pinjaman  (loan-based),  para  manajer cenderung  mengelola  perusahaan  yang  bersangkutan  dengan  pandangan untuk  membagi  dividen  di  kalangan  pemegang  saham  atau  berbagi keuntungan di antara mitra  suatu usaha  ekonomi. Sifat motivasi organisasi demikian  sangatlah  berbeda  dalam  arti  bahwa  mereka  cenderung  untuk mendorong  kekuatan-kekuatan  koperatif melalui  berbagai  bentuk  investasi berdasarkan  persekutuan  dalam  bermacam-macam  bentk  seperti musyarakah, mudharabah, dan lain-lain.
b)        Sebagai  akibatnya,  pengertian  tentang  keuntungan  biasa  mempunyai  arti yang  lebih  luas  dalam  kerangka  ekonomi  Islam  karena  bunga  pada modal tidak  dapat  dikenakan  lagi. Modal  manusia  yang  diberikan  oleh  manajer harus  diintegrasikan  dengan  modal  yang  berbentuk  uang.  Perilaku mengutamakan  kepentingan  orang  lain  dalam  Islam,  mungkin  berbeda dalam  kenyataan  dan  siasat  pengelolaannya,  kecuali  bila  secara  kebetulan perilaku  sebenarnya  dari  organisasi  tersebut  serupa  dengan  tindakan  yang diperlukan dalam memaksimalkan keuntungan. Hal  ini  tidak berarti bahwa manajemen  tidak  berusaha  untuk  mencari  laba.  Arti  yang  sesungguhnya bahwa  organisasi  Islam  sebagai  faktor produksi berbeda dengan organisasi dalam  ekonomi  konvensional/secular,  baik  pada  tingkatan  konseptual maupun pada tingkatan operasional dalam usaha menyelaraskan banyaknya tujuan yang tunduk pada kendala-kendala keuntungan.
c)        Karena  sifat  terpadu  organisasi  inilah  tuntutan  akan  integritas  moral, ketepatan  dan  kejujuran  dalam  proses  perakunan  (accounting)  jauh  lebih diperlukan daripada dalam organisasi secular.
d)       Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha mempunyai signifikansi lebih  diakui  dibandingkan  dengan  strategi  manajemen  lainnya  yang didasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.

Dalam pandangan Baqir Sadr (1979), ilmu ekonomi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
Perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvesional terletak pada filosofi ekonomi, bukan pada ilmu ekonominya. Filosofi ekonomi memberikan pemikiran dengan nilai-nilai islam dan batasan-batasan syariah, sedangkan ilmu ekonomi berisi alat-alat analisis ekonomi yang dapat digunakan.

Dengan kata lain, factor produksi ekonomi islam dengan ekonomi konvesional tidak
berbeda, yang secara umum dapat dinyatakan dalam :
a.       Faktor produksi tenaga kerja
b.      Faktor produksi bahan baku dan bahan penolong
c.       Faktor produksi modal

Di antara ketiga factor produksi, factor produksi modal yang memerlukan perhatian khusus karena dalam ekonomi konvesional diberlakukan system bunga. Pengenaan bunga terhadap modal ternyata membawa dampak yang luas bagi tingkat efisiansi produksi. ‘Abdul-Mannan mengeluarkan modal dari faktor produksi perbedaan ini timbul karena salah satu da antara dua persoalan berikut ini: ketidakjelasan anttara faktor-faktor yang terakhir dan faktor-faktor antara, atau apakah kita menganggap modal sebagai buruh yang diakumulasikan, perbedaan ini semakin tajam karena kegagalan dalam memadukan larangan bunga(riba) dalam islam dengan peran besar yang dimainkan oleh modal dalam produksi.

Kegagalan ini disebabkan oleh adannya prakonseps kapitalis yang menyatakan bahwa bunga adalah harga modal yang ada dibalik pikiran sejumlah penulis. Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi.

Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering.

Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.

D.      Tujuan dan Motif  Produksi

1) Tujuan Produksi
Tujuan  dari  kegiatan produksi   mencapai  dua hal pokok  pada  tingkat pribadi muslim dan umat Islam adalah :

a)        Memenuhi  kebutuhan  setiap  individu.  Di  dalam  ekonomi  Islam  kegiatan produksi  menjadi  sesuatu  yang  unik  dan  istimewa  sebab  di  dalamnya terdapat  faktor  itqan  (profesionalitas)  yang  dicintai  Allah  dan  ihsan  yang diwajibkan  Allah  atas  segala  sesuatu.  Pada  tingkat  pribadi  muslim, tujuannya adalah merealisasi pemenuhan kebutuhan baginya.
b)        Merealisasikan  kemandirian  umat,  hendaknya  umat  memiliki  berbagai kemampuan,  keahlian  dan  prasarana  yang  memungkinkan  terpenuhinya kebutuhan material dan spiritual.

Dalam  upaya merealisasikan  pemenuhan  kebutuhan umat  ada  beberapa  hal  yang perlu dilakukan, yaitu :

a)        Melakukan perencanaan. Perencanaan yang dilakukan  seperti disyari’atkan oleh  Nabi  Yusuf  adalah  selama  15  tahun.  Perencanaannya  mencakup produksi, penyimpanan, pengeluaran dan distribusi.
b)        Mempersiapkan sumberdaya manusia dan pembagian tugas yang baik.
c)        Memperlakukan sumber daya alam dengan baik.
d)       Keragaman produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan umat.
e)        Mengoptimalkan fungsi kekayaan berupa mata uang.

Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.

Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.

Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi rodusen sendiri dan manusia secara keseluruhan.

Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan.

Berkah merupakan komponen penting dalam mashlahah. Oleh karena itu, bagaimanapun dan seperti apapun pengklasifikasiannya, berkah harus dimasukkan dalam input produksi, sebab berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output.

Berkah yang dimasukkan dalam input produksi meliputi bahan baku yang dipergunakan untuk proses produksi harus memiliki kebaikan dan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa mendatang. Penggunaan bahan baku yang ilegal (tanpa izin) baik itu dari hasil illegal logging, maupun penggunaan bahan baku yang tanpa batas dalam penggunaannya dalam jangka waktu pendek mungkin akan memiliki nilai manfaat yang baik(pendistribusian baik), tetapi dalam jangka waktu panjang akan menimbulkan masalah. Sebagai contoh penggunaan bahan baku dari ilegal logging dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai bencana, dan akan memberikan nilai mudharat kepada para penerus/generasi selanjutnya.

2)  Motif Produksi
Menurut nejatullah sebagaimana di kutip kahf ada lima tujuan produksi dalam islam yaitu:
a.         Memenuhi kebutuhan pribadi secara wajar. Tujuan ini tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap self interest karena yang menjadi konsep dasarnya adalah pemenuhan kebutuhan secara wajar, tidak berlebihan tetapi tidak kurang. Terdapat dua implikasi pada kebutuhani ini.pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan bukan keinginan dari konsumen. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang wajar. Pemenuhan keperluan secara wajar juga tidak berarti produksi hanya untuk mencukupi diri sendiri, lebih baik jika produksi melebihi keperluan pribadi, sehingga bisa dimanfaatkan oleh orang lain.
b.        Memenuhi kebutuhan masyarakat. Tujuan ini berarti bahwa produsen harus proaktif dalam menyediakan komoditi-komoditi yang menjadi kebutuhan masyarakat, dan terus menerus berupayaa memberikan produk terbaik, sehingga terjadi peningkatan dalam kuantitas dan kualitas barang yang dihasilkan.
c.         Keperluan masa depan. Berorientasi ke masa depan berarti produsen harus terus menerus berupaya meningkatkan kualitas barang yang dihasilkan melalui serangkaian proses riset dan pengembangan dan berkreasi untuk menciptakan barang-barang baru yang lebih menarik dan diminati masyarakat.
d.        Keperluan generasi yang akan datang, islam menganjurkan umatnya untuk memperhatikan keperlan generasi yang akan datang. Produksi dilakukan tidak boleh mengganggu keberlanjutan hidup generasi yang akan datang, pemanfaatan input di masa sekarang tidak boleh menyebabkan generasi yang akan datang kesulitan dalam mengakses sumber tersebut, produksi yang dilakukan saat ini memiliki kaitan yang erat dengan kemampuan produksi di masa depan. Jadi, ada semacam inter and intra generation equity (keseimbangan antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang).
e.         Keperluan sosial dan infak di jalan Allah. Ini merupakan insentif utama bagi produsen untuk menghasilkan tingkat output yang lebih tinngi, yaitu memenuhui tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Walaupun keperluan pribadi, masyarakat, keperluan generasi sekarang dan generasi yang akan datang telah terpenuhi, produsen tidak harus bermalas-maasan dan berhenti berinovasi. Tetapi sebaliknya, produsen harus memproduksi lebih banyak lagi supaya dapat diberikan kepada masyarakat dalam bentuk zakat, sedekah, infak, dan lain sebagainya.



E.       Prinsip-prinsip Produksi dalam Islam

Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim  dilakukan untuk mencari falah (kebahagiaan), demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah  tersebut.

Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi,yaitu sebagai berikut:  

1.        Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara keduanya karena sifat Rahman dan Rahiim-Nya bkepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.
2.        Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf  Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan penuhan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari Al-qur’an dan Hadis.
3.        Teknik produksi diserahklan kepada keingunan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda:”kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
4.        Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan ketetapan-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agama-agama sealin Islam. Seseungguhnyan Islam mengingkari itu semua dan menyuruh bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama persyaratan. Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. Sebagi pemilik hak prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan dipenuhi dengan optimal.

Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:
1.        Memproduksikan barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.
2.        Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian, dan ketersediaan sumber daya alam.
3.        Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta  mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk   kemakmuran  material.
4.        Produksi dalam islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemanirian umat. Untuk itu hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. Juga terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban, di mana dalam kaitan tersebut para ahli fiqh memandang bahwa pengembangan di bidang ilmu, industri, perdagangan, keuangan merupakan fardhu kifayah, yang dengannya manusia biasa melaksanakan urusan agama dan dunianya.
5.        Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniahnya, kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual, kreatifitasnya, serta fisik mencakup kekuatan fisik,kesehatan, efisiensi, dan sebagainya. Menurut Islam, kualitas rohiah individu mewarnai kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga  membina kekuatan rohaniah menjadi unsur penting dalam produksi Islami.
Menurut  Mannan(1992),  perilaku  produksi  tidak  hanya  menyandarkan  pada kondisi permintaan pasar  tetapi  juga berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Sejalan dengan  itu,  Metwally  (1992)  menyatakan  bahwa  fungsi  kepuasan  perusahaan  tidak hanya dipengaruhi oleh variable tingkat keuntungan, tetapijuga oleh pengeluaran yang bersifat charity atau good deeds. Sehingga fungsi utilitas dari pengusaha muslim adalah: Umax = U(F, G)  Dimana : F = tingkat keuntungan G = tingkat pengeluaran untuk good deeds/charity

Menurut Metwally, pengeluaran perusahaan untuk  charity  akan meningkatkan permintaan  terhadap  produk  perusahaan,  karena  G  akan  menghasilkan efekpenggandaan  (multiplier  effect)  terhadap  kemampuan  daya  beli masyarakat,  pada akhirnya akan meningkatkan permintaan  terhadap produk perusahaan. Tanpa adanya charity,yang dalam Islam diimplementasikan melalui kewajiban zakat, golongan miskin tidak akan mampu mengaktualisasikan permintaannya karena tidak memiliki daya beli.

Pertentangan  antara  charity/shadaqahdan  riba, dimana peran  sistem  keuangan berdasarkan  riba  sangat  mendukung  sistem  ekonomi  individualistis  dan  hedonis, sedangkan  shadaqah  sangat  bersifat  alturistis,  dermawan  dan  penuh  kesetiakawanan sosial. Menurut Sayyid Quthb, riba adalah lawan shadaqah.

Dalam  dunia  usaha modern  saat  ini  peran  sosial  dari  perusahaan menjadi  hal yang  penting  dalam  rangka  menyelaraskan  kepentingan  perusahaan  dengan masyarakat  secara  umum.  Konsep  CSR  (Corporate  Social  Responsibility)  dengan  cara menyisihkan sebagian keuntungan bagi  pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan.




F.     Produksi Dalam Pandangan Islam
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah keyakinan kepada Allah SWT sebagai Rabb dari alam semesta. Ikrar akan keyakinan ini menjadi pembuka kitab suci umat Islam.

Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al-jaatsiyah:13)

Rabb, yang seringkali diterjemahkan “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, memiliki makna yang sangat luas, mencakup antara lain “pemelihara (al-murabbi), penolong (al-nashir), pemilik (al-malik),yang memperbaiki (al-mushlih), tuan (al-sayyid) dan wali (al-wali). Konsep ani bermakna bahwa ekonomi Islam berdiri di atas kepercayaan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemilik, dan Pengendali alam raya yang dengan takdir-Nya menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam dengan ketetapan-Nya (sunatullah).

Dengan keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah Rabb semesta alam, maka konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat. Ayat 77 surat al-Qashas mengingatkan manusia untuk mencari kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia. Artinya, urusan dunia merupakan sarana untuk memperoleh kesejahteraan akhirat. Orang bisa berkompetisi dalam kebaikan untuk urusab dunia, tetapi sejatinya mereka sedang berlomba-lomba mencapai kebaikan di akhirat.

Islam pun sesungguhnya menerima motif-motif berproduksi seperti pola pikir ekonomi konvensional tadi. Hanya bedanya, lebih jauh Islam juga menjelaskan nilai-nilai moral di samping utilitas ekonomi. Bahkan sebelum itu, Islam menjelaskan mengapa produksi harus dilakukan. Menurut ajaran Islam, manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah dimuka bumi dan berkewajiban untuk memakmurkan bumi dengan jalan beribadah kepada-Nya. Dalam QS. Al-An’am(6) ayat 165 Allah berfirman:

“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.

Pernyataan senada juga terdapat pada QS. Yunus (10) ayat 14:
“Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) dimuka bumi sesudah mereka, supaya kami memerhatikan bagiaman kamu berbuat.”

Islam juga mengajarkan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu menempati posisi dan peranan sangat penting dalam Islam. Sangatlah sulit untuk membayangkan seseorang yang tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari bentuk dan jenis pekerjaanya, dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah yang membawa rahmatan lil alamin inilah, seseorang produsen tentu tidak akan mengabaikan masalah eksternalitas seperti pencemaran.

Bagi Islam, memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk di konsumsi sendiri atau di jual ke pasar. Dua motivasi itu belum cukup, karena masih terbatas pada fungsi ekonomi. Islam secara khas menekankan bahwa setiap kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Ini tercermin dalam QS. Al-Hadid(57) ayat 7:

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”

Kita harus melakukan hal ini karena memang dalam sebagian harta kita melekat hak orang miskin, baik yang meminta maupun tidak meminta.(QS.51:19 dan QS.70:25). Agar mampu mengemban fungsi sosial seoptimal mungkin, kegiatan produksi harus melampaui surplus untuk mencukupi keperluan konsutif dan meraih keuntungan finansial, sehingga bisa berkontribusi kehidupan sosial.

Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumberdaya insani ke arah pencapaian kondisi full employment, dimana setiap orang bekerja dan menghasilkan karya kecuali mereka yang “udzur syar’i” seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proposional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksikan sesuatu yang halal dan bermanfaat buat masyarakat (thayyib). Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain.

Pada prinsipnya Islam juga lebih menekankan berproduksi demi untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, bukan hanya sekedar memenuhi segelintir orang yang memiliki uang, sehingga memiliki daya beli yang lebih baik. Karena itu bagi Islam., produksi yang surplus dan berkembang baik secara kuantitatif maupun kualitatif, tidak dengan sendirinya mengindikasikan kesejahteraan bagi masyarakat. Apalah artinya produk yang menggunung jika hanya bisa didistribusikan untuk segelintir orang yang memiliki uang banyak.
Sebagai dasar modal berproduksi, Allah telah menyediakan bumi beserta isinya bagi manusia, untuk diolah bagi kemaslahatan bersama seluruh umat manusia. Hal ini terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 22:

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-kutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

G.     Nilai-nilai Islam dalam berproduksi

Upaya produsen untuk memperoleh mashlahah yang maksimum dapat terwujud apabila produsen mengaplikasikan nilai-nilai islam. Dengan kata lain, seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang islami. Metwally mengatakan, “perbedaan dari perusahan-perusahan non muslim  tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.

Nilai-nilai islam yng relevan dengan produksi dikembangkan dari tiga nilai utama dalm ekonomi islam, yaitu: khilafah, adil, dan takaful.secara lebih rinci nilai-nilai islam dalam produksi meliputi:

1.      Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan akhirat;
2.      Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3.      Memenuhi takran, ketepatan, kelugasan dan kebenaran;
4.      Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
5.      Memuliakan prestasi/produktifitas;
6.      Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;
7.      Menghormati hak milik individu;
8.      Mengikuti syarta sah dan rukun akad/transaksi;
9.      Adil dalam bertransaksi;
10.  Memiliki wawasan social;
11.  Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12.  Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalm islam.

Penerapan nilai-nilai diatas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus mendatangkan berkah. Kombinasi keuntungan dan berkah yang diproleh oleh produsen merupakan satu mashlahah yang akan member kontribusi bagi tercapinya falah. Dengan cara ini, maka produsen akan memperoleh kebahagiaan hakiki, yaitu kemuliaan tidak saja di dunia tetapi juga diakhirat.

H.    Prilaku Produsen Muslim Vs Non Muslim

Muhammad (2004) berpendapat bahwa sistem ekonomi Islami digambarkan seperti bangunan dengan atap akhlak. Akhlak akan mendasari bagi seluruh aktivitas ekonomi, termasuk aktivitas ekonomi produksi. Menurut Qardhawi dikatakan, bahwa:

“Akhlak merupakan hal yang utama dalam produksi yang wajib diperhatikan kaum muslimin, baik secara individu maupun secara bersama-sama, yaitu bekerja pada bidang yang dihalalkan oleh Allah swt, dan tidak melampaui apa yang diharamkannya.”

Meskipun ruang lingkup yang halal itu sangat luas, akan tetapi sebagian besar manusia sering dikalahkan oleh ketamakan dan kerakusan. Mereka tidak merasa cukup dengan yang banyak karena mereka mementingkan kebutuhan dan hawa nafsu tanpa melihat adanya suatu akibat yang akan merusak atau merugikan orang lain. Tergiur dengan kenikmatan sesaat. Hal ini dikatakan sebagai perbuatan yang melampaui batas, yang demikian inilah termasuk kategori orang-orang yang zalim. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al Baqarah: 229)

Seorang produsen muslim harus berbeda dari produsen non muslim yang tidak memperdulikan batas-batas halal dan haram, mementingkan keuntungan yang maksimum semata, tidak melihat apakah produk mereka memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika ataukah tidak. Akan tetapi seorang muslim harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia.

“Seorang muslim tidak boleh memudharatkan diriya sendiri dan orang lain, tidak boleh memudharatkan dan saling memudharatkan dalam islam. “Barang siap dalam Islam yang memprakasai suatu perbuatan yag buruk, maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakannya sesudahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah dari Jarir).”

Sangat diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang menghilangkan identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan kepada kebatilan, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat, merusak kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum. Produser hanya mementingkan kekayaan uang dan pendapatan yang maksimum semata, tidak melihat halal dan haram serta tidak mengindahkan aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama.

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bahwa norma dan etika seorang produsen muslim adalah:
1.      Norma Produsen Muslim
a.         Menghindari sifat tamak dan rakus
b.        Tidak melampaui batas serta tidak berbuat zhalim
c.         Harus memperhatikan apakah produk itu memberikan manfaat atau tidak, baik ataukah buruk, sesuai dengan nilai dan akhlak ataukah tidak, sesuai dengan norma dan etika ataukah tidak.
d.        Seorang muslim harus memproduksi yang halal dan tidak merugikan diri sendiri maupun masyarakat banyak, tetap dalam norma dan etika serta akhlak yang mulia.

2.      Etika Produsen Muslim
a.       Memperhatikan halal dan haram.
b.      Tidak mementingkan keuntungan semata.
c.       diharamkan memproduksi segala sesuatu yang merusak akidah dan akhlak serta segala sesuatu yang menghilangkan identitas umat, merusak nilai-nilai agama, menyibukkan pada hal-hal yang sia-sia dan menjauhkan kebenaran, mendekatkan kepada kebatilan, mendekatkan dunia dan menjauhkan akhirat, merusak kesejahteraan individu dan kesejahteraan umum.

Jelaslah terlihat bahwa produsen muslim harus memperhatikan semua aturan yang telah ditetapkan sesuai dengan ajaran islam, sementara produsen non muslim tidak mempunyai aturan-aturan seperti yang tersebut diatas.

I.                                 Pola Produksi

Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations) itulah, menurut Muhammad Abdul Mannan, pertimbangan perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada permintaan pasar (given demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan tentang kuantitas produksi. Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusalas arikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada output yang menjadi permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat menjadikan kebutuhan riil masyarakat terabaikan.

Dari sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing) merupakan suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh setiap perusahaan untuk menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat mencapai nilai tambah (value added). Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas produksi sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan produksi dilakukan, mengapa suatu produk diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan dan siapa yang memproduksi?

Berikut akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas produksi.
1.      Apa yang diproduksi. Terdapat dua pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan macam suatu produk yang akan diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat (primer, sekunder, tertier) dan ada manfaat positif bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi kategori etis dan ekonomi)
2.      Berapa kuantitas yang diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko. Jumlah produksi di pengaruhi dua faktor; intern dan ekstern; faktor intern meliputi sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan, faktor modal, faktor SDM, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern meliputi adanya jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market share yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.
3.      Kapan produksi dilakukan. Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan eksternal atau menunggu tingkat kesiapan perusahaan.
4.      Mengapa suatu produk diproduksi
a.      Alasan ekonomi
b.      Alasan kemanusiaan
c.      Alasan politik
5.      Dimana produksi itu dilakukan
a.      Kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
b.      Murahnya sumber-sumber ekonomi
c.      Akses pasar yang efektif dan efisien
d.      Biaya-biaya lainnya yang efisien
6.      Bagaimana proses produksi dilakukan: input- proses – out put - out come
7.      Siapa yang memproduksi; negara, kelompok masyarakat, indovidu. Dengan demikian masalah barang apa yang harus diproduksi (what), berapa jumlahnya (how much), bagaimana memproduksi (how), untuk siapa produksi tersebut (for whom), yang merupakan pertanyaan umum dalam teori produksi tentu saja merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam produksi.

J.        Etika Produksi

Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia. Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan manusia. Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan.

Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oragnisasi ke arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan.

Jika kita berbicara tentang nilai dan akhlak dalam ekonomi dan mu’amalah Islam, maka tampak secara jelas di hadapan kita empat nilai utama,yaitu: Rabbaniyah (Ketuhanan), Akhlak, Kemanusiaan dan Pertengahan. Nilai-nilai ini menggambarkan kekhasan (keunikan) yang utama bagi ekonomi Islam, bahkan dalam kenyataannya merupakan kekhasan yang bersifat menyeluruh yang tampak jelas pada segala sesuatu yang berlandaskan ajaran Islam. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah Islamiah di bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi10. Raafik Isaa Beekun dalam bukunya yang berjudul Islamic Bussines Ethics menyebutkan paling tidak ada sejumlah parameter kunci system etika Islam yang dapat dirangkum sbb:

a.    Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa an mengetahui apapun niat kita sepenuhnya secara sempurna.
b.   Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal.
c.  Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawab keadilan.
d.   PercayakepadaAllah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah.
e.     Keputusan yang menguntungkan kelompok mamyoritas ataupun minoritas secara langsung bersifat etis dalam dirinya.etis bukanlahpermainan mengenai jumlah.
f.    Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai system yang tertutup, dan berorientasi diri sendiri.Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam.
g.  Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an danalam semesta.
h.  Tidak seperti system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berprilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum Muslim harus mampu membuktikan ketaatannya kepada Allah SWT.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk mengahasilkan barang dan jasa kegiatan produksi  melibatkan banyak faktor produksi. Beberapa implikasi mendasar  bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain : Seluruh kegiatan produksi  terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami, kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan, permasalahan ekonomi  muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks.

Produksi adalah menciptakan manfaat dan bukan menciptakan materi. Maksudnya adalah bahwa manusia mengolah materi itu untuk mencukupi berbagai kebutuhannya, sehingga materi itu mempunyai kemanfaatan. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam “memproduksi” tidak sampai pada merubah substansi benda. Yang dapat dilakukan manusia berkisar pada misalnya mengambilnya dari tempat yang asli dan mengeluarkan atau mengeksploitasi (ekstraktif).

Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.

Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.

Dari pembahasan di atas bahwa dalam melakukan kegiatan produksi banyak faktor yang harus diperhatikan. Berbeda antara ilmu ekonomi kapitalis, sosialis, dan ekonomi islam dalam mendefinisikan produksi, tujuan, dan faktor-faktor produksi tersenut.

Pemenuhan terhadap kebutuhan individu merupakan analisa penting yang digunakan para ekonom kapitalis untuk mendefinisikan lebih lanjut dalam hal produksi, dan sebaliknya bagi kaum sosialis. Berbeda diantara keduanya, islam telah memberikan ruang yang berbeda dalam memandang kegiatan produksi. Bagi seorang muslim tidak hanya melihat manfaat pada dirinya sendiri, namun apakah hal tersebut (berproduksi) mempunyai nilai guna bagi yang lain, dan terdapat unsur maslahah atau tidak. Karena hal ini dipandang dari tanggung jawab manusia terhadap dirinya, lingkungan sosialnya, dan serta tanggung jawabnya terhadap Allah swt. Tujuan seorang muslim tidak hanya bersifat sementara (duniawi) tetapi sifatnya juga lebih jauh ke depan, yaitu pencapaian kesejahteraan ukhrawi .

Dan begitu juga dalam berproduksi islam tidak hanya menganjurkan hal-hal yang bersifat halal, tetapi juga harus mengandung nilai yang baik (thoyyib).

B.       Saran

Setiap  kegiatan  produksi  hendaknya  ditujukan  untuk  meningkatkan  manfaat dari suatu materi. Produksi harus memerhatikan norma dan etika yang telah ditetapkan dalam  Islam. Penggunaan  faktor-faktor produksi  secara  efisien  terutama  yang  berasal dari sumberdaya bertujuan untuk  menjaga keseimbangan alam. Penentuan  upah  harus  didasarkan  pada  beberapa  kriteria  seperti  kebutuhan  hidup, roduktivitas dan kemampuan perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Agustianto.Etika Produksi Dalam Islam
3.      Setiawan. Instrumen Ekonomi Syariah Untuk Transformasi Masyarakat
4.      Ali Hasan. Meneguh Kembali Konsep Produksi Dalam Ekonomi Islam
6.   Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia.
7.      Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill Khaerul. Produksi dan Konsumsi Dala Al Qur’an,
8.      Khatimah Husnul , Teori Produksi Islam, Kafe Syariah.net
9.      M.A. Mannan, “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”,
10.  Readings in Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia (1992),

 LAMPIRAN PERSENTASI PPT



Tidak ada komentar: