PERUBAHAN
KURIKULUM, LADANG EMAS BAGI KORUPTOR!
Beberapa minggu ini dunia pendidikan di Indonesia telah
digemparkan oleh kurikulum 2013 yang dikabarkan telah dihentikan oleh menteri
kebudayaan dan pendidikan kita. Banyak pro dan kontra yang menyelimuti
kurikulum 2013 ini. Menurut beberapa siswa di Surabaya yang memakai K-13 ini
mengeluhkan dengan sulitnya pelajaran yang diterima. Namun, tak sedikit juga
siswa yang mendukung K-13 ini.
Tak hanya menjadi persoalan bagi para siswa dan guru saja,
pergantian kurikulum pendidikan ini merupakan peluang bagi tindak pidana
korupsi, terutama dalam pengadaan buku-buku baik untuk siswa maupun guru.
Pernyataan ini disampaikan oleh Febri Hendri, Koordinator Divisi Monitoring
Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW).
Hal ini dikarenakan ada motif yang melatarbelakangi,
“Anggaran adalah motif utama, itulah mengapa di Indonesia kurikulum sering
diubah-ubah dalam waktu singkat, karena adanya kesempatan emas untuk korupsi,”
ujar Febri Hendri dihubungi di Jakarta, Jumat (19/12/2014). Febri pun
menjelaskan bahwa adanya modus lain, yaitu pengadaan buku yang tidak sesuai
dengan jumlah yang dibutuhkan. “Modusnya, kebutuhan buku digelembungkan,
sementara buku yang dicetak sesuai jumlah siswa di sekolah. Jadi, buku yang
dicetak kurang dari yang diajukan. Kalau seperti itu, siapa yang akan mengecek?
Tidak akan ada yang menghitung apakah buku yang dicetak sesuai pengajuan atau
tidak,” tuturnya.
Dugaan itu telah dilaporkan kepada Kemendikbud saat ICW
melaporkan temuannya mengenai dugaan korupsi dalam pengadaan modul guru
pengawas Kurikulum 2013 untuk Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Gorontalo yang
dilaksanakan salah satu unit kerja kementerian di Malang. “Dugaan ini tidak
disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikarenakan temuan yang
didapat sekitar Rp 983 juta dengan potensi kerugian negara Rp 786 juta atau
tidak ada Rp 1 miliar, sehingga hanya dilaporkan ke Kemdikbud untuk
ditindaklanjuti,” lanjutnya.
Menurutnya juga, ICW telah menemukan modus korupsi berupa
penggelembungan harga. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (P4TK) Bidang Otomotif di Malang melayani pengadaan 22.221 modul
untuk pelatihan guru pengawas bagi sekolah di Provinsi Jawa Timur, Kalimantan
Tengah dan Gorontalo. Investigasi yang telah dilakukan ICW dan dokumen-dokumen
yang didapat diperoleh penggelembungan harga hingga 300% keatas atau Rp 30 ribu
keatas untuk satu unit produksi yang awalnya rata-rata hanya Rp.10.500 menjadi Rp 40 ribu, bahkan Rp 60 ribu.
Dengan banyaknya media untuk melakukan tindak korupsi ini,
patutlah kita sebagai warga Indonesia memperkuat iman kita. Tingginya
pendidikan yang diperoleh tak menjadi acuan sebagai profile orang itu sendiri,
pendidikan moral dan agama memang harusnya menjadi pendidikan yang diberikan
atau diajarkan sedini mungkin agar dapat mencegah perbuatan yang tak baik.
Sumber : https://dwiprastblog.wordpress.com
ICW: Kurikulum Sering Diubah
karena Ada Ladang untuk Korupsi
Jumat, 19 Desember 2014 |
13:50 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator
Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri
Hendri mengatakan, pergantian kurikulum pendidikan merupakan peluang bagi
tindak pidana korupsi, terutama dalam pengadaan buku-buku baik untuk siswa
maupun guru.
"Motif utamanya adalah anggaran. Itulah mengapa
di Indonesia kurikulum sering diubah-ubah dalam waktu singkat, karena ada
ladang untuk korupsi," kata Febri Hendri dihubungi di Jakarta, Jumat
(19/12/2014), seperti dikutip Antara.
Selain penggelembungan harga buku sebagaimana temuan ICW
yang sudah dilaporkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Febri juga
menengarai adanya modus lain, yaitu pengadaan buku yang tidak sesuai dengan
jumlah yang dibutuhkan.
Febri mengatakan, modus itu berpotensi dilakukan pada
pengadaan buku 2014 yang sudah melibatkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang
dan Jasa (LKPP) dengan mekanisme e-katalog dan harga yang sudah dipatok
berdasarkan spesifikasi tertentu.
"Modusnya, kebutuhan buku digelembungkan,
sementara buku yang dicetak sesuai jumlah siswa di sekolah. Jadi, buku yang
dicetak kurang dari yang diajukan. Kalau seperti itu, siapa yang akan mengecek?
Tidak akan ada yang menghitung apakah buku yang dicetak sesuai pengajuan atau
tidak," tuturnya. Febri mengatakan, dugaan modus korupsi itu juga sudah
disampaikan kepada Kemendikbud saat ICW melaporkan temuannya mengenai dugaan
korupsi dalam pengadaan modul guru pengawas Kurikulum 2013 untuk Jawa Timur,
Kalimantan Tengah dan Gorontalo yang dilaksanakan salah satu unit kerja
kementerian di Malang.
"Yang ditemukan di Malang nilainya Rp 983 juta
dengan potensi kerugian negara Rp 786 juta. Karena tidak ada Rp 1 miliar, maka
kami laporkan ke Kemdikbud untuk ditindaklanjuti, bukan ke Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)," tuturnya.
Febri mengatakan, modus korupsi yang ICW temukan
adalah penggelembungan harga. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan (P4TK) Bidang Otomotif di Malang melayani pengadaan 22.221
modul untuk pelatihan guru pengawas bagi sekolah di Provinsi Jawa Timur,
Kalimantan Tengah dan Gorontalo.
Dari dokumen-dokumen dan investigasi yang dilakukan
ICW ditemukan penggelembungan harga hingga Rp 30 ribu ke atas. Biaya produksi
satu unit modul yang rata-rata hanya Rp10.500 digelembungkan menjadi Rp 40
ribu, bahkan Rp 60 ribu. (baca: ICW Duga Masih
Banyak Korupsi Modul Kurikulum)
Sumber : https://kompas.com
Korupsi Hantui Pelaksanaan Kurikulum
Pendidikan 2013
Perubahan-perubahan untuk lebih maju
memang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia, terutama perubahan sistem
pendidikan. Namun, Sepertinya korupsi hantui pelaksanaan kurikulum Pendidikan 2013
yang akan diberlakukan pada tahun ajaran baru Juli mendatang. Hal itu
disebabkan oleh besarnya dana yang akan digunakan pada pelaksanaan
kurikulum pendidikan 2013 sebesar 2,49 triliyun rupiah.
Dana sebesar itu pastinya akan menarik perhatian dan menjadi peluang emas bagi
para pelaku korupsi di Indonesia.
Melihat materi perubahan yang pertama
kali akan diterapkan pada tingkat Sekolah Dasar, sepertinya perubahan kurikulum
pendidikan 2013 tersebut lebih baik. Coba kita lihat kurikulum sebelumnya,
dimana anak kelas satu SD harus dijejali oleh sekian banyak mata pelajaran.
Padahal setingkat kelas satu SD itu adalah taraf pengenalan pada pola belajar,
bukan pada tingkat lebih tinggi seperti menghafal. Jujur saja, saya sempat
bingung ketika melihat soal testing setingkat kelas satu yang modelnya
terpadu.
Jangankan menjawab pertanyaan,
membacanya saja pasti bingung dan akhirnya sang guru memberi tahu isi
jawabannya. Ini fakta yang terjadi pada adik saya sendiri. Nah, pada kurikulum
pendidikan 2013 untuk SD sepertinya sangat cocok. Siswa tidak dipaksakan untuk
jadi penghafal atau penyontek. Pada kurikulum pendidikan yang baru , khususnya
untuk SD sepertinya mengedepankan nilai etika dan budi pekerti yang lebih
banyak dibanding kurikulum sebelumnya. Ini akan berdampak sangat baik bagi
mental anak pada tingkat pendidikan selanjutnya.
Indonesia memang perlu perubahan pada
sistem pendidikan. Disanalah tempat asal generasi berikutnya dalam membangun
negeri ini dan generasi itu nantinya akan menentukan maju atau mundurnya bangsa
Indonesia kedepan. Semua itu akan tercapai dan mungkin pendidikan Indonesia
nantinya tidak lagi seperti kalkulator, dimanapencet tombol ini dan itu lalu keluar hasilnya.
Saya yakin sistem kurikulum pendidikan yang 2013 akan sukses, bila diawali oleh
kebijakan bersih berbagai pihak dan dilaksanakan dengan cara-cara yang bersih
pula. Bersih dari unsur pemanfaatan seperti yang sudah-sudah dan bersih dari
praduga buruk kaum pendidikan yang biasa dimanjakan.
Saya tidak melihat buruknya kurikulum
pendidikan 2013 mendatang, kecuali celah bagi para tindak korupsi yang telah
menjadi hantu dan bukan saja menghantui pasti tergiur melihat anggaran sebesar
2,49 triliyun rupiah itu. Disinilah nanti yang akan memporak-porandakan sistem
kurikulum pendidikan 2013 yang sebenarnya baik jadi hancur berantakan.
Bahayanya lagi adalah bila kurikulum pendidikan 2013 adalah cetusan para hantu
untuk merampok dibalik niat baik dari sistem pendidikan 2013. Boleh dong
berpendapat demikian, siapa sih yang ga tau cara kerja birokrat saat ini, mana
mau cape tanpa fulus?
Sebenarnya bukan kurikulum pendidikan
2013 saja yang rentan tindakan hantu korupsi, sebelum-sebelumnya sudah banyak
dan biasa di kalangan kita. Satu hal saja yang mungkin tidak pernah kita tanya
seperti apa yang pernah terjadi pada saya pribadi, kemana larinya uang iuran
peserta didik baru (IPDB)? Kalau dipikir-pikir, gedung dan kelengkapan sekolah,
pembayaran gaji , buku-buku, dana bantuan dan lain sebagainya semua pemerintah
yang menyediakan (khusus sekolah negeri). Lalu untuk apa sebenarnya uang IPDB
itu atau SPP dan pungutan lainnya? Semua cuek,
slow dan bungkam seribu
bahasa! Apa uang spp itu disetorkan ke pemerintah? Nah, kalau disetorkan
berarti pemerintah kita, terutama pemerintah daerah pasti akan kaya. Itu satu
contoh yang mungkin dilupakan dan bukan terlupakan, kalau sistem pendidikan di
Indonesia ini kurikulum manapun belum ada yang bebas dari korupsi.
Dari sisi pendidik, perubahan kurikulum
2013 sepertinya bukan perubahan besar-besaran yang merombak tantanan atau
kemampuan guru sebagai pendidik, apalagi mengurangi jumlah alias pemecatan.
Bila dicermati lebih dalam, kurikulum 2013 yang akan datang ini bertitik berat
pada akhlak dan etika dasar dalam pendidikan nasional mendatang. Ehm, mungkin
sadar atau tidak, kita semua kalau mau bicara jujur sudah banyak bergeser dari
akhlak dan etika. Korupsi bukan lagi tindakan haram, tapi sah-sah saja karena
semua melakukannya, termasuk kita-kita ini. Jangankan ada kesempatan, sempit
saja disempat-sempatkan untuk korupsi! Masa kita tidak malu melihat negeri ini selalu menempati
ranking teratas perihal korupsinya?
Saya tidak tahu penolakan yang terjadi
belakangan pada rencana kurikulum pendidikan 2013 itu, karena kurikulumnya
salah atau karena malas. Malas dalam arti, mereka yang menolak tidak
terbiasa kreatif, malas dan terlalu manja dengan sistem kurikulum sebelumnya.
Padahal kurikulum pendidikan 2013 mendatang itu bedanya hanya pada waktu yang
lebih panjang dan materi pelajaran lebih sedikit, lalu dimana letak
penolakannya kecuali si penolak itu malas atau bermasalah. Atau bisa jadi
penolakan itu ada penyulutnya, hingga nantinya ketika dilaksanakan terdapat
lubang-lubang besar dan gagal. Ketika kacau para hantu bekerja menguras
sekering-keringnya, lalu berlenggang pergi tanpa diketahui. Ya, seperti kisruh UN 2013 yang baru saja terjadi. Apa iya tidak
ada dalang atau hanya murni akibat ulah hantu korupsi percetakan atau
Kemendikbud? Apalagi didekat-dekat pemilu, biasalah hal-hal aneh terjadi di
Indonesia. Jadi sekarang ini korupsi sudah jadi hantu dan bukan lagi kata
kiasan.korupsi hantui ini dan itu.
Sepertinya perubahan kurikulum
pendidikan 2013 tidak separah tahun 1978 ketika ayah saya harus menyelesaikan
satu tingkat pendidikan dengan waktu 1,5 tahun, hanya waktu belajar
ditambah dan pengurangan materi pelajaran bukanlah hal memberatkan. Dari sisi
siswa tidak ada yang dirugikan, kecuali para pendidik harus menambah waktu mengajarnya
dan meningkatkan kreatifitas sesuai dengan tingkat pendidikannya. Untuk
itu tidak perlulah gembar-gembor menolak dengan alasan ini dan itu,
bila ujung-ujung hanya karena malas dan terlalu manja. Bagaimana siswa akan
berpikir posisitf, bila pendidiknya saja berpikir negatif? Kita harus berpikir positif!
Biarkan hantu korupsi mendekat, lalu halau si hantu bila ada didekat kita dan
jebloskan kedalam lubang sepiteng..
Hal yang harus diwaspadai hanya satu,
yaitu cegah keberadaan hantu korupsi dana anggaran perubahan kurikulum
pendidikan 2013. Awasi dan kawal ketat sistem kurikulum pendidikan 2013 yang
akan berjalan, dan tidak menggunakan momentum perubahan sebagai kesempatan
untuk korupsi. Bapak-bapak atau ibu-ibu koruptor dimana pun berada, mohon
tinggalkan lahan pendidikan sebagai lahan korupsi! Entah itu anggaran
pemerintah pusat, pemerintah daerah ataupun anggaran yang dibuat di sekolah-sekolah.
Kita haurs maju dan hantu korupsi harus kabur dari dunia pendidikan, terutama
hantu pelaksanaan kurikulum pendidikan 2013. Janganlah korupsi dirubah dari
kebiasaan menjadi budaya, karena
pelakunya adalah orang-orang berpendidikan dan berkebudayaan! Ayo kita cegah
korupsi hantui pelaksanaan kurikulum pendidikan 2013!
Sumber : http://kitabasmikorupsi.blogspot.com
Kurikulum Baru dan Asa Pemberantasan
Korupsi
Gonjang-ganjing penerapan kurikulum 2013 yang sudah berjalan tahun ini kembali
menyeruak. Hal ini tidak lepas dari munculnya berbagai persoalan yang terjadi
di lapangan, baik itu persoalan yang sifatnya teknis maupun filosofis. Tapi
terlepas dari berbagai persoalan yang melanda, penerapan kurikulum 2013 yang
digadang-gadang mengedepankan aspek pendidikan karakter sangatlah menarik untuk
kita kaji bersama.
Dalam
berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh mengakui
jika perumusan kurikulum 2013 merupakan salah satu upaya menjawab tantangan
zaman dengan berbagai persoalan yang menggelayutinya, tak terkecuali persoalan
degradasi moral yang tengah melanda bangsa Indonesia.
Jika
memang benar demikian, ini akan menjadi secercah harapan di tengah mimpi kita
melihat kembalinya fungsi pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa yang
bukan hanya berfungsi sebagai pengembangan keilmuan, sarana transfer ilmu
pengetahuan, penguasaan life
skill dan teknologi, melainkan
juga sebagai ajang internalisasi nilai-nilai luhur bagi kehidupan. Dan kita
akan sama-sama melihat, apakah kehadiran kurikulum 2013 ini akan mampu
mereduksi perilaku “amoral” yang semakin menjamur dan massif?
Menjadikan
lembaga pendidikan sebagai "rumah sakit" bagi perbaikan moralitas
bangsa bukan suatu hal yang keliru. Harus diakui, lembaga pendidikan adalah
pilihan yang relevan sebagai garda terdepan pembentukan karakter bangsa, karena
di situlah intensitas pembinaan sumber daya manusia bisa dilakukan sedini
mungkin. Selain itu, pendidikan sebagai “sang pencerah” juga dituntut berperan
efektif sebagai agen perubahan peradaban manusia ke arah yang lebih baik.
Dalam
kurikulum 2013, pendidikan karakter yang diajarkan kepada siswa ditujukan
sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya degradasi moral secara lebih
dini. Berbeda dengan pendekatan represif, pendekatan preventif mungkin tidak
bisa dilihat hasilnya secara langsung, melainkan membutuhkan jangka waktu yang
panjang. Tapi sisi positifnya, pendekatan preventif akan menciptakan kesadaran,
sehingga berdampak pada perbaikan moral terjadi secara alamiah (dibaca: tanpa
paksaan).
Pendidikan
Anti Korupsi
Di
Indonesia, korupsi merupakan salah satu persoalan terbesar yang dihadapi bangsa
saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membasmi “tikus-tikus” tersebut
tak terkecuali melalui sektor pendidikan. Di Indonesia sendiri, istilah ataupun
wacana pendidikan anti korupsi bukanlah pembicaraan yang baru lagi. Sudah
jauh-jauh hari, para pakar pendidikan kita mengingatkan betapa pentingnya
pemahaman soal dampak buruk perilaku korupsi kepada peserta didik. Dan
Kemendikbud sebagai pemegang otoritas pendidikan sebenarnya sudah berupaya
untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya dengan melakukan penandatanganan
Nota Kesepahaman (MoU) pendidikan antikorupsi dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada tahun 2012 lalu.
Tapi
dalam pelaksanaannya, MoU tersebut belum dijalankan secara menyeluruh dan
massif. Sebagai contoh, di tingkat perguruan tinggi di Indonesia saja, hanya
Universitas Paramadina yang telah mewajibkan mahasiswanya mengambil matakuliah
“pendidikan antikorupsi” sebagai matakuliah wajib. Sedangkan ribuan kampus
lainnya belum cukup tegas untuk mendeklarasikan perang melawan korupsi. Adapun
di tingkat SD-SLTA, implementasinya masih jarang sekali kita dengar.
Dengan
adanya momen penerapa kurikulum baru –di mana pendidikan karakter menjadi salah
satu aspek yang ditonjolkan– kampanye pendidikan anti korupsi sudah semestinya
digaungkan kembali. Baik itu dengan menjadikan pendidikan anti korupsi sebagai
mata pelajaran/kuliah yang independen, maupun sebatas menyisipkannya dalam mata
pelajaran/kuliah tertentu. Karena sebagaimana kita ketahui bersama, wabah
korupsi sudah menjadi penyakit akut yang mendarah daging, sehingga diperlukan
“dokter spesialis” dalam penanganannya. Upaya-upaya yang strategis dan taktis
sudah tidak bisa lagi ditawar.
Tapi
dalam penerapannya, penanaman pendidikan karakter ataupun pendidikan anti
korupsi kepada siswa bukanlah perkara yang mudah. Grand desainyang dibentuk
dengan cara pandang yang holistik jelas sangat diperlukan. Ini artinya,
Kemendikbud dalam hal ini dirasa perlu menyelaraskan berbagai agenda pendidikan
yang ada. Hal ini berguna untuk membasmi berbagai fenomena “jungkir balik” yang
banyak terjadi dalam dunia pendidikan kita. Akibatnya, kesan di satu sisi
“mengobati”, tapi di sisi lain menebarkan “penyakit” pun muncul. Sebut saja
kecurangan masal yang terjadi di setiap pelaksanaan UN (Ujian Nasional). Tentu
ini menjadi sebuah ironi tersendiri. Penanaman karakter yang dilakukan selama
bertahun-tahun mendadak runtuh hanya dalam seminggu pelaksanaan UN.
Hal yang
sama juga perlu dilakukan terhadap pemangku Stake
Holder itu sendiri. Beberapa
hari yang lalu, Indonesian
Corruption Watch (ICW)
menyatakan jika Kemendikbud berada dalam tiga besar kementerian yang paling
berpotensi korupsi selain Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan. Ini
jelas bukanlah realitas yang baik. Karena bagaimanapun, pemimpin formal di
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif merupakan figur-figur yang harus
menjadi teladan bagi masyarakat dan siswa khususnya.
Selain
itu, berbagai persoalan teknis yang kini tengah membelenggu keberlangsungan
penerapan kurikulum 2013 sudah selayaknya diselesaikan. Ini dilakukan bukan
hanya untuk mensukseskan program Kemendikbud di akhir masa jabatan, tapi juga
keberlangsungan pendidikan dan bangsa ini ke depannya. Di akhir kata,
mudah-mudahan fenomena gonta-ganti kurikulum yang kerap dilakukan
Kemendikbud bukan karena proyek semata? Karena jika demikian, maka janganlah
kita merasa heran kala “maling terdidik” seolah tiada habisnya. La wong sudah terjadi dari hulunya!
Tulisan
ini dimuat di Tabloid SuaraKPK edisi September 2014.
Sumber
: http://follyakbar.blogspot.com
Pendidikan anti korupsi. sekedar teori?
Mulai
tahun ajaran baru 2012/2013 nanti, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan(Kemendikbud) berencana memasukan kurikulum pendidikan anti-korupsi
dalam pembelajaran siswa mulai dari tingkat SD hingga SMA. Kebijakan ini
merupakan buah dari kerjasama Kemendikbud dengan KPK beberapa waktu lalu.
Langkah ini dilakukan untuk membunuh kaderisasi koruptor sejak dini mungkin,
dengan harapan akan lahir generasi yang alergi dengan tindak korupsi.
Dari
segi namanya, pendidikan anti-korupsi bertujuan mengenal apa itu korupsi serta
dampaknya diri sendiri, keluarga, orang lain dan bangsa. Sehingga muncul
pemahaman serta perubahan watak dan mental untuk tidak melakukan tindak
korupsi. Namun hakikatnya pendidikan bukanlah sebatas teori belaka. Teori
memang penting tapi yang tak kalah pentingnya adalah adanya contoh bahwa
perilaku korupsi akan mendapatkan hukuman setimpal yang bisa membuat pelakunya
menderita. Artinya, pendidikan anti-korupsi akan sangat membumi dan menemukan
ruhnya andai ada bukti riil bahwa perilaku korupsi di Indonesia mendapatkan
hukuman yang setimpal. Tapi selama ini koruptor masih bisa hidup dengan
bahagia.
Jika kita bertanya kepada seluruh anak Indonesia, apa cita-cita kalian? Penulis menyakini tidak ada satupun yang bercita-cita menjadi koruptor. Bahkan koruptor kakap sekelas Gayus Tambunan ataupun Nazarudin sekalipun, penulis yakin keduanya tidak pernah bercita-cita menjadi koruptor semasa kecilnya. Dengan kata lain, tanpa dikenalkan apa itu korupsi, semua anak Indonesia tahu betul jika korupsi itu busuk. Tapi kenapa ketika tumbuh dewasa dan bekerja dalam sebuah instansi, mereka berevolusi menjadi koruptor? Dari pemaparan tersebut kita bisa melihat dimana letak pelencengan cita-cita tersebut.
Minimnya
lapangan kerja dewasa ini mengakibatkan orang berjuang dengan segala cara untuk
mendapatkan kerja, idealisme dan cita-cita mulia ketika kecil tergadaikan oleh
keadaan yang serba menuntutnya. Suap menyuap dalam persaingan kerja menjadi
awal kaderisasi koruptor, awalnya korupsi hanya untuk mengembalikan modal,
perlahan ketagihan dan berubah menjadi kebiasaan. Dan telah menjadi rehasia
umum bahwa korupsi dalam institusi-institusi telah menggurita sebagai sebuah
sistem. Maka tidak jarang bagi orang yang memiliki idealisme kuat, akan
terpental(dipindah tempat) dari institusi tersebut.
Hal yang tidak jauh berbeda terjadi di lingkup DPR dan Pemimpin Daerah, ongkos pemilu yang sangat mahal menjadi pemicu utama perilaku korupsi ramai terjadi di kalangan mereka. Hal ini tidak lepas dari budaya money politik yang menjamur pasca reformasi, karena dewan dan Pemimpin Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Hal yang tidak jauh berbeda terjadi di lingkup DPR dan Pemimpin Daerah, ongkos pemilu yang sangat mahal menjadi pemicu utama perilaku korupsi ramai terjadi di kalangan mereka. Hal ini tidak lepas dari budaya money politik yang menjamur pasca reformasi, karena dewan dan Pemimpin Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Celakanya
hukum saat ini sudah sangat tidak berdaya dalam mengadili para koruptor. Bahkan
tidak sedikit hakim yang seharusnya mengadili justru di adili akibat terbukti
menerima suap yang dilakukan koruptor. Nah,
agaknya akan sia-sia saja pendidikan anti-korupsi masuk dalam kurikulum
pendidikan secara formal kalau tidak di imbangi dengan proses dekonstruksi
sosial-hukum secara simultan. Yang ada hanya menambah beban siswa akibat
bertambahnya jumlah mata pelajaran di sekolah. Tapi, di luar efektif atau
tidaknya, kita perlu mengapresiasi itikad baik yang dilakukan kemendikbud dan
KPK.
Selama
ini akademisi kita hanya mengenal korupsi sebagai tindakan memakan uang yang
bukan hak nya, padahal mengurangi jam belajar merupakan salah satu perilaku
korupsi. Tidak hanya itu, dunia pendidikan kita belum bisa keluar dari budaya
mencontek. Kasus mencontek masal kerap terjadi khususnya dalam pelaksanaan
ujian nasional yang merupakan momok siswa selama ini. Mendapat nilai yang
tinggi di rapor/ijazah jauh lebih penting dari pada memahami apa inti dari apa
yang diajarkan. Lulus Ujian Nasional adalah harga mati. Apapun harus ditempuh
yang penting lulus. Parahnya lagi, itu dilakukan atas komando dari kepala
sekolah.
Nah,
untuk mengcover kurikulum anti-korupsi, para pendidik harus mampu
menghilangkan budaya-budaya buruk seperti mengkorupsi jam belajar, mencontek
atau terlambat masuk kelas. Karena dengan membiasaakan diri bersikap disiplin
dan jujur, maka perilaku anti korupsi akan masuk ke dalam jiwa generasi muda
tidak sebatas teori belaka. Sekali lagi penulis tekankan, untuk membasmi
generasi koruptor tidak cukup dengan mengenalkan secara teori semata melainkan
butuh dekonstruksi aspek-aspek lainya. Karena korupsi saat ini adalah musuh
yang paling besar, sehingga langkah antisipasi yang dilakukan harus kuat secara
konsep dan praktisnya.
Kita
masih ingat beberapa tahun lalu kemendikbud pernah menggulirkan program kantin
kejujuran. Untuk melihat sejauh mana kefektifan adanya kurikulum pendidikan
anti-korupsi tersebut, rasanya kemendikbud perlu menggulirkan kembali hal
tersebut sebagai barometernya. Meskipun kevalidanya tidak menjamin, namun katin
kejujuran merupakan barometer paling relevan saat ini.
Oleh : Folly Akbar
Sumber
: http://follyakbar.blogspot.com
KOMENTAR PENYUSUN :
Niat Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk menerapkan kurikulum 2013
secara utuh dan serentak di semua sekolah pada tahun ajaran baru sedang
mengalami kendala. Kesiapan penerapan Kurikulum 2013
dinilai buruk, bahkan pemerintah dinilai terlalu percaya diri untuk menerapkan Kurikulum tersebut.
Sejak awal tahun ajaran baru 2014, tepatnya 14 Juli 2014, pelaksanaan
penerapannya menuai banyak protes, permasalahan pun muncul bak jamur di musim
hujan.
Di antara permasalahan yang
ramai diperbincangkan itu persiapan kurikulum yang terkesan kejar tayang, sebab
pelatihan guru yang digelar secara masif dan serentak saat awal Ramadhan lalu
hanya berlangsung lima hari. Dengan semua keterbatasan yang ada tentu tidak
memungkinkan untuk mengubah mindset guru sesuai yang dikehendaki Kemendikbud.
Selain pelatihan guru yang kejar tayang dan kurang efisien, pelatihan kepala sekolah dan pengawas sekolah di daerah juga belum bisa dilaksanakan, padahal kepala sekolah dan pengawas punya peranan penting dalam mengawasi jalannya kurikulum. Di Jawa Tengah, misalnya, pelatihan kepala sekolah dan pengawas justru digabung dengan pelatihan guru, padahal jelas keduanya memiliki tugas dan fungsi berbeda. (Kompas, 5 Juli 2014).
Selain kurang terlatihnya guru sebagai ujung tombak pendidikan, keterlambatan pengadaan buku juga menjadi masalah dalam implementasi Kurikulum 2013, padahal tahun ajaran baru segera datang bahkan sudah dimulai meski belum masuk aktivitas efektif. Berbagai ketidaksiapan penerapan Kurikulum 2013 tersebut menunjukkan kinerja Kemendikbud tidak maksimal.
Berbagai protes dari kalangan pun muncul mulai dari pesimisme guru dalam menerapkan Kurikulum 2013, ketidakpercayaan sekolah terhadap Kurikulum 2013, demonstrasi menolak Kurikulum 2013, grup facebook mengatasnamakan koalisi menolak Kurikulum 2013 hingga yang membuat saya tersedak munculnya petisi untuk menolak Kurikulum 2013.
Petisi ini muncul dari situs Change.org yang meminta pengguna internet menandatangai petisi secara online guna menolak penerapan Kurikulum 2013.
Dalam petisi tersebut ada beberapa alasan dituliskan, di antaranya Kemendikbud membuat Kurikulum 2013 tanpa perencanaan yang matang, perubahan kurikulum tidak didahului dengan riset dan evaluasi, proses penyusunan yang rawan korupsi, penghapusan beberapa pelajaran yang dinilai penting, pengadaan buku yang rawan korupsi, tidak memikirkan nasib guru, perubahan yang terkesan asal-asalan hingga menguntungkan penerbit buku.
Jangan Buru-Buru Menolak
Menurut hemat penyusun,
beberapa alasan yang diuraikan dalam petisi tersebut tidak seharusnya menjadi
acuan baku untuk menolak Kurikulum 2013. Pada dasarnya perubahan kurikulum
memang mutlak diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan. Memang kita telah
mengalami banyak sekali perubahan kurikulum, tapi tentu perubahan itu
dimaksudkan dengan niat baik.
Penyusun pikir jika semua orang ditanyakan tentang kondisi pendidikan kita saat ini dengan segudang permasalahannya, pasti akan lebih banyak yang mengatakan pendidikan kita sedang jalan di tempat atau bahkan mundur. Lihat saja hasil-hasil penelitan pendidikan semacam PISA atau TMISS yang menempatkan posisi Indonesia di angka paling belakang. Lantas, untuk memperbaiki hal tersebut perlu adanya perubahan. Ditambah lagi dengan persaingan Pasar Bebas ASEAN yang membuat bulu kuduk kita merinding jika membayangkan betapa tidak siapnya sumber daya manusia kita.
Mengenai alasan yang tertulis dalam petisi tersebut, penulis pikir tentu pemerintah sudah mempersiapkan kurikulum dengan matang. Dokumen resmi Kemendikbud tentang Kurikulum 2013, serta buku panduan dan pegangan guru sudah tersedia di website resmi Kemendikbud. Bahkan hingga rencana pelaksanaan pembelajaran, serta prosedur aktivitas pembelajaran, sudah disediakan dalam jaringan.
Ini yang menjadi kendala banyak guru di Indonesia kesulitan dalam mencari dan menentukan sendiri materi pelajaran yang sesuai dengan kondisi anak, padahal di negara-negara maju dengan sistem pendidikan terbaik bahkan sekolah tidak memiliki buku yang baku dari pemerintah. Sekolah dan guru menyusun sendiri kurikulum sesuai kebutuhan siswanya, dengan metode belajar yang juga sesuai kondisi siswa. Sedangkan kita hanya menunggu aturan baku dari pemerintah dan menjalankannya dengan kaku tanpa inovasi.
Mencuatnya permasalahan pendidikan dewasa ini, seperti tindak kekerasan di sekolah, tindak asusila di sekolah, pelecehan seks, tawuran antar pelajar hingga kriminalitas di kalangan pelajar, juga sudah jadi bukti kegagalan penerapan sistem pendidikan yang baik. Maka pantas untuk diubah ke arah yang lebih baik melalui pendidikan karakter lebih aplikatif yang tertuang dalam Kurikulum 2013.
Tentang rawannya korupsi dalam pengadaan dan penerapan Kurikulum 2013, tentu tidak ada kebijakan pemerintah yang tidak rawan korupsi, bahkan pengadaan Al-Qur an dan penyelenggaraan haji saja bisa dikorupsi. Ini sebuah keberhasilan sistem pendidikan zaman dulu yang menciptakan orang-orang pintar namun tidak berakhlak. Daripada menggerutu, ada baiknya kita sama-sama mengawasi dengan seksama kebijakan ini agar tidak terjadi kebocoran anggaran yang rawan dikorupsi tersebut.
Untuk Pendidikan Lebih Baik
Kita harus percaya pada
dasarnya Kurikulum 2013 diniatkan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita yang
sudah carut marut, mengingat banyaknya permasalah di dunia pendidikan yang
menyeret para generasi muda saja rasanya sudah miris. Jika tidak ada perubahan,
bagaimana kita bisa menciptakan Indonesia yang lebih baik. Perlu diketahui,
Finlandia, Singapura, China sebagai negara yang diakui dunia memiliki sistem
pendidikan terbaik, juga melakukan revolusi besar-besaran untuk mendapatkan
predikat tersebut.
Jika dikaji lebih jauh dalam kegiatan belajar mengajar, Kurikulum 2013 memang membawa perubahan. Kurikulum 2013 lebih manusiawi, lebih humanis, memperlakukan siswa layaknya manusia, bukannya robot. Sayang, ini jadi salah satu alasan kurikulum ditolak, karena dianggap membebani guru. Padahal, guru yang tidak siap untuk berubah, tidak siap keluar dari zona nyaman, tidak siap belajar lebih banyak tentang sistem pendidikan yang baik.
Sebagai calon Guru yang nantinya akan berkutat dalam dunia pendidikan, serta sekolah yang mengusung konsep pendidikan manusiawi, penyusun sarankan untuk tidak buru-buru menolak Kurikulum 2013.
Memang penerapannya terkesan buru-buru dan dipaksakan. Inilah yang perlu kita perbaiki bersama dengan memberikan saran-saran demi perbaikan pelaksanaannya. Perlahan tapi pasti pendidikan kita memang harus mengalami revolusi agar tidak tertinggal semakin jauh dari negara lain.
( Oleh : Debi Liana Lestari )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar