Sabtu, 27 Desember 2014

KURIKULUM ANTI KORUPSI

PERUBAHAN KURIKULUM, LADANG EMAS BAGI KORUPTOR!

Posted On December 20, 2014 Updated On December 24, 2014

Beberapa minggu ini dunia pendidikan di Indonesia telah digemparkan oleh kurikulum 2013 yang dikabarkan telah dihentikan oleh menteri kebudayaan dan pendidikan kita. Banyak pro dan kontra yang menyelimuti kurikulum 2013 ini. Menurut beberapa siswa di Surabaya yang memakai K-13 ini mengeluhkan dengan sulitnya pelajaran yang diterima. Namun, tak sedikit juga siswa yang mendukung K-13 ini.

Tak hanya menjadi persoalan bagi para siswa dan guru saja, pergantian kurikulum pendidikan ini merupakan peluang bagi tindak pidana korupsi, terutama dalam pengadaan buku-buku baik untuk siswa maupun guru. Pernyataan ini disampaikan oleh Febri Hendri, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW).

Hal ini dikarenakan ada motif yang melatarbelakangi, “Anggaran adalah motif utama, itulah mengapa di Indonesia kurikulum sering diubah-ubah dalam waktu singkat, karena adanya kesempatan emas untuk korupsi,” ujar Febri Hendri dihubungi di Jakarta, Jumat (19/12/2014). Febri pun menjelaskan bahwa adanya modus lain, yaitu pengadaan buku yang tidak sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. “Modusnya, kebutuhan buku digelembungkan, sementara buku yang dicetak sesuai jumlah siswa di sekolah. Jadi, buku yang dicetak kurang dari yang diajukan. Kalau seperti itu, siapa yang akan mengecek? Tidak akan ada yang menghitung apakah buku yang dicetak sesuai pengajuan atau tidak,” tuturnya.

Dugaan itu telah dilaporkan kepada Kemendikbud saat ICW melaporkan temuannya mengenai dugaan korupsi dalam pengadaan modul guru pengawas Kurikulum 2013 untuk Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Gorontalo yang dilaksanakan salah satu unit kerja kementerian di Malang. “Dugaan ini tidak disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikarenakan temuan yang didapat sekitar Rp 983 juta dengan potensi kerugian negara Rp 786 juta atau tidak ada Rp 1 miliar, sehingga hanya dilaporkan ke Kemdikbud untuk ditindaklanjuti,” lanjutnya.

Menurutnya juga, ICW telah menemukan modus korupsi berupa penggelembungan harga. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Bidang Otomotif di Malang melayani pengadaan 22.221 modul untuk pelatihan guru pengawas bagi sekolah di Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Gorontalo. Investigasi yang telah dilakukan ICW dan dokumen-dokumen yang didapat diperoleh penggelembungan harga hingga 300% keatas atau Rp 30 ribu keatas untuk satu unit produksi yang awalnya rata-rata hanya Rp.10.500 menjadi Rp 40 ribu, bahkan Rp 60 ribu.

Dengan banyaknya media untuk melakukan tindak korupsi ini, patutlah kita sebagai warga Indonesia memperkuat iman kita. Tingginya pendidikan yang diperoleh tak menjadi acuan sebagai profile orang itu sendiri, pendidikan moral dan agama memang harusnya menjadi pendidikan yang diberikan atau diajarkan sedini mungkin agar dapat mencegah perbuatan yang tak baik.


ICW: Kurikulum Sering Diubah karena Ada Ladang untuk Korupsi

Jumat, 19 Desember 2014 | 13:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengatakan, pergantian kurikulum pendidikan merupakan peluang bagi tindak pidana korupsi, terutama dalam pengadaan buku-buku baik untuk siswa maupun guru.

"Motif utamanya adalah anggaran. Itulah mengapa di Indonesia kurikulum sering diubah-ubah dalam waktu singkat, karena ada ladang untuk korupsi," kata Febri Hendri dihubungi di Jakarta, Jumat (19/12/2014), seperti dikutip Antara.

Selain penggelembungan harga buku sebagaimana temuan ICW yang sudah dilaporkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Febri juga menengarai adanya modus lain, yaitu pengadaan buku yang tidak sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.

Febri mengatakan, modus itu berpotensi dilakukan pada pengadaan buku 2014 yang sudah melibatkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP) dengan mekanisme e-katalog dan harga yang sudah dipatok berdasarkan spesifikasi tertentu.

"Modusnya, kebutuhan buku digelembungkan, sementara buku yang dicetak sesuai jumlah siswa di sekolah. Jadi, buku yang dicetak kurang dari yang diajukan. Kalau seperti itu, siapa yang akan mengecek? Tidak akan ada yang menghitung apakah buku yang dicetak sesuai pengajuan atau tidak," tuturnya. Febri mengatakan, dugaan modus korupsi itu juga sudah disampaikan kepada Kemendikbud saat ICW melaporkan temuannya mengenai dugaan korupsi dalam pengadaan modul guru pengawas Kurikulum 2013 untuk Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Gorontalo yang dilaksanakan salah satu unit kerja kementerian di Malang.

"Yang ditemukan di Malang nilainya Rp 983 juta dengan potensi kerugian negara Rp 786 juta. Karena tidak ada Rp 1 miliar, maka kami laporkan ke Kemdikbud untuk ditindaklanjuti, bukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," tuturnya.
Febri mengatakan, modus korupsi yang ICW temukan adalah penggelembungan harga. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Bidang Otomotif di Malang melayani pengadaan 22.221 modul untuk pelatihan guru pengawas bagi sekolah di Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Gorontalo.

Dari dokumen-dokumen dan investigasi yang dilakukan ICW ditemukan penggelembungan harga hingga Rp 30 ribu ke atas. Biaya produksi satu unit modul yang rata-rata hanya Rp10.500 digelembungkan menjadi Rp 40 ribu, bahkan Rp 60 ribu. (baca: ICW Duga Masih Banyak Korupsi Modul Kurikulum)


Korupsi Hantui Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan 2013


Perubahan-perubahan untuk lebih maju memang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia, terutama perubahan sistem pendidikan. Namun, Sepertinya korupsi hantui pelaksanaan kurikulum Pendidikan 2013 yang akan diberlakukan pada tahun ajaran baru Juli mendatang. Hal itu disebabkan oleh besarnya dana  yang akan digunakan pada pelaksanaan kurikulum pendidikan 2013 sebesar 2,49 triliyun rupiah. Dana sebesar itu pastinya akan menarik perhatian dan menjadi peluang emas bagi para pelaku korupsi di Indonesia.

Melihat materi perubahan yang pertama kali akan diterapkan pada tingkat Sekolah Dasar, sepertinya perubahan kurikulum pendidikan 2013 tersebut lebih baik. Coba kita lihat kurikulum sebelumnya, dimana anak kelas satu SD harus dijejali oleh sekian banyak mata pelajaran. Padahal setingkat kelas satu SD itu adalah taraf pengenalan pada pola belajar, bukan pada tingkat lebih tinggi seperti menghafal. Jujur saja, saya sempat bingung ketika melihat soal testing setingkat kelas satu yang modelnya terpadu. 

Jangankan menjawab pertanyaan, membacanya saja pasti bingung dan akhirnya sang guru memberi tahu isi jawabannya. Ini fakta yang terjadi pada adik saya sendiri. Nah, pada kurikulum pendidikan 2013 untuk SD sepertinya sangat cocok. Siswa tidak dipaksakan untuk jadi penghafal atau penyontek. Pada kurikulum pendidikan yang baru , khususnya untuk SD sepertinya mengedepankan nilai etika dan budi pekerti yang lebih banyak dibanding kurikulum sebelumnya. Ini akan berdampak sangat baik bagi mental anak pada tingkat pendidikan selanjutnya.

Indonesia memang perlu perubahan pada sistem pendidikan. Disanalah tempat asal generasi berikutnya dalam membangun negeri ini dan generasi itu nantinya akan menentukan maju atau mundurnya bangsa Indonesia kedepan. Semua itu akan tercapai dan mungkin pendidikan Indonesia nantinya tidak lagi seperti kalkulator, dimanapencet tombol ini dan itu lalu keluar hasilnya. Saya yakin sistem kurikulum pendidikan yang 2013 akan sukses, bila diawali oleh kebijakan bersih berbagai pihak dan dilaksanakan dengan cara-cara yang bersih pula. Bersih dari unsur pemanfaatan seperti yang sudah-sudah dan bersih dari praduga buruk kaum pendidikan yang biasa dimanjakan.

Saya tidak melihat buruknya kurikulum pendidikan 2013 mendatang, kecuali celah bagi para tindak korupsi yang telah menjadi hantu dan bukan saja menghantui pasti tergiur melihat anggaran sebesar 2,49 triliyun rupiah itu. Disinilah nanti yang akan memporak-porandakan sistem kurikulum pendidikan 2013 yang sebenarnya baik jadi hancur berantakan. Bahayanya lagi adalah bila kurikulum pendidikan 2013 adalah cetusan para hantu untuk merampok dibalik niat baik dari sistem pendidikan 2013. Boleh dong berpendapat demikian, siapa sih yang ga tau cara kerja birokrat saat ini, mana mau cape tanpa fulus?

Sebenarnya bukan kurikulum pendidikan 2013 saja yang rentan tindakan hantu korupsi, sebelum-sebelumnya sudah banyak dan biasa di kalangan kita. Satu hal saja yang mungkin tidak pernah kita tanya seperti apa yang pernah terjadi pada saya pribadi, kemana larinya uang iuran peserta didik baru (IPDB)? Kalau dipikir-pikir, gedung dan kelengkapan sekolah, pembayaran gaji , buku-buku, dana bantuan dan lain sebagainya semua pemerintah yang menyediakan (khusus sekolah negeri). Lalu untuk apa sebenarnya uang IPDB itu atau SPP dan pungutan lainnya? Semua cuek, slow dan bungkam seribu bahasa! Apa uang spp itu disetorkan ke pemerintah? Nah, kalau disetorkan berarti pemerintah kita, terutama pemerintah daerah pasti akan kaya. Itu satu contoh yang mungkin dilupakan dan bukan terlupakan, kalau sistem pendidikan di Indonesia ini kurikulum manapun belum ada yang bebas dari korupsi.

Dari sisi pendidik, perubahan kurikulum 2013 sepertinya bukan perubahan besar-besaran yang merombak tantanan atau kemampuan guru sebagai pendidik, apalagi mengurangi jumlah alias pemecatan. Bila dicermati lebih dalam, kurikulum 2013 yang akan datang ini bertitik berat pada akhlak dan etika dasar dalam pendidikan nasional mendatang. Ehm, mungkin sadar atau tidak, kita semua kalau mau bicara jujur sudah banyak bergeser dari akhlak dan etika. Korupsi bukan lagi tindakan haram, tapi sah-sah saja karena semua melakukannya, termasuk kita-kita ini. Jangankan ada kesempatan, sempit saja disempat-sempatkan untuk korupsi! Masa kita tidak malu melihat negeri ini selalu menempati ranking teratas perihal korupsinya?

Saya tidak tahu penolakan yang terjadi belakangan pada rencana kurikulum pendidikan 2013 itu, karena kurikulumnya salah atau karena malas. Malas dalam arti, mereka yang menolak  tidak terbiasa kreatif, malas dan terlalu manja dengan sistem kurikulum sebelumnya. Padahal kurikulum pendidikan 2013 mendatang itu bedanya hanya pada waktu yang lebih panjang dan materi pelajaran lebih sedikit, lalu dimana letak penolakannya kecuali si penolak itu malas atau bermasalah. Atau bisa jadi penolakan itu ada penyulutnya, hingga nantinya ketika dilaksanakan terdapat lubang-lubang besar dan gagal. Ketika kacau para hantu bekerja menguras sekering-keringnya, lalu berlenggang pergi tanpa diketahui. Ya, seperti kisruh UN 2013 yang baru saja terjadi. Apa iya tidak ada dalang atau hanya murni akibat ulah hantu korupsi percetakan atau Kemendikbud? Apalagi didekat-dekat pemilu, biasalah hal-hal aneh terjadi di Indonesia. Jadi sekarang ini korupsi sudah jadi hantu dan bukan lagi kata kiasan.korupsi hantui ini dan itu.

Sepertinya perubahan kurikulum pendidikan 2013 tidak separah tahun 1978 ketika ayah saya harus menyelesaikan  satu tingkat pendidikan dengan waktu 1,5 tahun, hanya waktu belajar ditambah dan pengurangan materi pelajaran bukanlah hal memberatkan. Dari sisi siswa tidak ada yang dirugikan, kecuali para pendidik harus menambah waktu mengajarnya dan meningkatkan kreatifitas sesuai dengan tingkat pendidikannya.  Untuk itu tidak perlulah gembar-gembor menolak dengan alasan ini dan itu, bila ujung-ujung hanya karena malas dan terlalu manja. Bagaimana siswa akan berpikir posisitf, bila pendidiknya saja berpikir negatif? Kita harus berpikir positif! Biarkan hantu korupsi mendekat, lalu halau si hantu bila ada didekat kita dan jebloskan kedalam lubang sepiteng..

Hal yang harus diwaspadai hanya satu, yaitu cegah keberadaan hantu korupsi dana anggaran perubahan kurikulum pendidikan 2013. Awasi dan kawal ketat sistem kurikulum pendidikan 2013 yang akan berjalan, dan tidak menggunakan momentum perubahan sebagai kesempatan untuk korupsi. Bapak-bapak atau ibu-ibu koruptor dimana pun berada, mohon tinggalkan lahan pendidikan sebagai lahan korupsi! Entah itu anggaran pemerintah pusat, pemerintah daerah ataupun anggaran yang dibuat di sekolah-sekolah. Kita haurs maju dan hantu korupsi harus kabur dari dunia pendidikan, terutama hantu pelaksanaan kurikulum pendidikan 2013. Janganlah korupsi dirubah dari kebiasaan menjadi budaya, karena pelakunya adalah orang-orang berpendidikan dan berkebudayaan! Ayo kita cegah korupsi hantui pelaksanaan kurikulum pendidikan 2013!

 Annur Diana   
  

  

Kurikulum Baru dan Asa Pemberantasan Korupsi


Gonjang-ganjing penerapan kurikulum 2013 yang sudah berjalan tahun ini kembali menyeruak. Hal ini tidak lepas dari munculnya berbagai persoalan yang terjadi di lapangan, baik itu persoalan yang sifatnya teknis maupun filosofis. Tapi terlepas dari berbagai persoalan yang melanda, penerapan kurikulum 2013 yang digadang-gadang mengedepankan aspek pendidikan karakter sangatlah menarik untuk kita kaji bersama.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh mengakui jika perumusan kurikulum 2013 merupakan salah satu upaya menjawab tantangan zaman dengan berbagai persoalan yang menggelayutinya, tak terkecuali persoalan degradasi moral yang tengah melanda bangsa Indonesia.

Jika memang benar demikian, ini akan menjadi secercah harapan di tengah mimpi kita melihat kembalinya fungsi pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa yang bukan hanya berfungsi sebagai pengembangan keilmuan, sarana transfer ilmu pengetahuan, penguasaan life skill dan teknologi, melainkan juga sebagai ajang internalisasi nilai-nilai luhur bagi kehidupan. Dan kita akan sama-sama melihat, apakah kehadiran kurikulum 2013 ini akan mampu mereduksi perilaku “amoral” yang semakin menjamur dan massif?

Menjadikan lembaga pendidikan sebagai "rumah sakit" bagi perbaikan moralitas bangsa bukan suatu hal yang keliru. Harus diakui, lembaga pendidikan adalah pilihan yang relevan sebagai garda terdepan pembentukan karakter bangsa, karena di situlah intensitas pembinaan sumber daya manusia bisa dilakukan sedini mungkin. Selain itu, pendidikan sebagai “sang pencerah” juga dituntut berperan efektif sebagai agen perubahan peradaban manusia ke arah yang lebih baik.

Dalam kurikulum 2013, pendidikan karakter yang diajarkan kepada siswa ditujukan sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya degradasi moral secara lebih dini. Berbeda dengan pendekatan represif, pendekatan preventif mungkin tidak bisa dilihat hasilnya secara langsung, melainkan membutuhkan jangka waktu yang panjang. Tapi sisi positifnya, pendekatan preventif akan menciptakan kesadaran, sehingga berdampak pada perbaikan moral terjadi secara alamiah (dibaca: tanpa paksaan).

Pendidikan Anti Korupsi
Di Indonesia, korupsi merupakan salah satu persoalan terbesar yang dihadapi bangsa saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membasmi “tikus-tikus” tersebut tak terkecuali melalui sektor pendidikan. Di Indonesia sendiri, istilah ataupun wacana pendidikan anti korupsi bukanlah pembicaraan yang baru lagi. Sudah jauh-jauh hari, para pakar pendidikan kita mengingatkan betapa pentingnya pemahaman soal dampak buruk perilaku korupsi kepada peserta didik. Dan Kemendikbud sebagai pemegang otoritas pendidikan sebenarnya sudah berupaya untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satunya dengan melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pendidikan antikorupsi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2012 lalu.

Tapi dalam pelaksanaannya, MoU tersebut belum dijalankan secara menyeluruh dan massif. Sebagai contoh, di tingkat perguruan tinggi di Indonesia saja, hanya Universitas Paramadina yang telah mewajibkan mahasiswanya mengambil matakuliah “pendidikan antikorupsi” sebagai matakuliah wajib. Sedangkan ribuan kampus lainnya belum cukup tegas untuk mendeklarasikan perang melawan korupsi. Adapun di tingkat SD-SLTA, implementasinya masih jarang sekali kita dengar.

Dengan adanya momen penerapa kurikulum baru –di mana pendidikan karakter menjadi salah satu aspek yang ditonjolkan– kampanye pendidikan anti korupsi sudah semestinya digaungkan kembali. Baik itu dengan menjadikan pendidikan anti korupsi sebagai mata pelajaran/kuliah yang independen, maupun sebatas menyisipkannya dalam mata pelajaran/kuliah tertentu. Karena sebagaimana kita ketahui bersama, wabah korupsi sudah menjadi penyakit akut yang mendarah daging, sehingga diperlukan “dokter spesialis” dalam penanganannya. Upaya-upaya yang strategis dan taktis sudah tidak bisa lagi ditawar.

Tapi dalam penerapannya, penanaman pendidikan karakter ataupun pendidikan anti korupsi kepada siswa bukanlah perkara yang mudah. Grand desainyang dibentuk dengan cara pandang yang holistik jelas sangat diperlukan. Ini artinya, Kemendikbud dalam hal ini dirasa perlu menyelaraskan berbagai agenda pendidikan yang ada. Hal ini berguna untuk membasmi berbagai fenomena “jungkir balik” yang banyak terjadi dalam dunia pendidikan kita. Akibatnya, kesan di satu sisi “mengobati”, tapi di sisi lain menebarkan “penyakit” pun muncul. Sebut saja kecurangan masal yang terjadi di setiap pelaksanaan UN (Ujian Nasional). Tentu ini menjadi sebuah ironi tersendiri. Penanaman karakter yang dilakukan selama bertahun-tahun mendadak runtuh hanya dalam seminggu pelaksanaan UN.

Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap pemangku Stake Holder itu sendiri. Beberapa hari yang lalu, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan jika Kemendikbud berada dalam tiga besar kementerian yang paling berpotensi korupsi selain Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan. Ini jelas bukanlah realitas yang baik. Karena bagaimanapun, pemimpin formal di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif merupakan figur-figur yang harus menjadi teladan bagi masyarakat dan siswa khususnya.

Selain itu, berbagai persoalan teknis yang kini tengah membelenggu keberlangsungan penerapan kurikulum 2013 sudah selayaknya diselesaikan. Ini dilakukan bukan hanya untuk mensukseskan program Kemendikbud di akhir masa jabatan, tapi juga keberlangsungan pendidikan dan bangsa ini ke depannya. Di akhir kata, mudah-mudahan fenomena gonta-ganti kurikulum yang kerap dilakukan Kemendikbud bukan karena proyek semata? Karena jika demikian, maka janganlah kita merasa heran kala “maling terdidik” seolah tiada habisnya. La wong sudah terjadi dari hulunya!

Tulisan ini dimuat di Tabloid SuaraKPK edisi September 2014.

 

Pendidikan anti korupsi. sekedar teori?

Mulai tahun ajaran baru 2012/2013 nanti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan(Kemendikbud) berencana memasukan kurikulum pendidikan anti-korupsi dalam pembelajaran siswa mulai dari tingkat SD hingga SMA. Kebijakan ini merupakan buah dari kerjasama Kemendikbud dengan KPK beberapa waktu lalu. Langkah ini dilakukan untuk membunuh kaderisasi koruptor sejak dini mungkin, dengan harapan akan lahir generasi yang alergi dengan tindak korupsi.

Dari segi namanya, pendidikan anti-korupsi bertujuan mengenal apa itu korupsi serta dampaknya diri sendiri, keluarga, orang lain dan bangsa. Sehingga muncul pemahaman serta perubahan watak dan mental untuk tidak melakukan tindak korupsi. Namun hakikatnya pendidikan bukanlah sebatas teori belaka. Teori memang penting tapi yang tak kalah pentingnya adalah adanya contoh bahwa perilaku korupsi akan mendapatkan hukuman setimpal yang bisa membuat pelakunya menderita. Artinya, pendidikan anti-korupsi akan sangat membumi dan menemukan ruhnya andai ada bukti riil bahwa perilaku korupsi di Indonesia mendapatkan hukuman yang setimpal. Tapi selama ini koruptor masih bisa hidup dengan bahagia.

Jika kita bertanya kepada seluruh anak Indonesia, apa cita-cita kalian? Penulis menyakini tidak ada satupun yang bercita-cita menjadi koruptor. Bahkan koruptor kakap sekelas Gayus Tambunan ataupun Nazarudin sekalipun, penulis yakin keduanya tidak pernah bercita-cita menjadi koruptor semasa kecilnya. Dengan kata lain, tanpa dikenalkan apa itu korupsi, semua anak Indonesia tahu betul jika korupsi itu busuk. Tapi kenapa ketika tumbuh dewasa dan bekerja dalam sebuah instansi, mereka berevolusi menjadi koruptor? Dari pemaparan tersebut kita bisa melihat dimana letak pelencengan cita-cita tersebut.
Minimnya lapangan kerja dewasa ini mengakibatkan orang berjuang dengan segala cara untuk mendapatkan kerja, idealisme dan cita-cita mulia ketika kecil tergadaikan oleh keadaan yang serba menuntutnya. Suap menyuap dalam persaingan kerja menjadi awal kaderisasi koruptor, awalnya korupsi hanya untuk mengembalikan modal, perlahan ketagihan dan berubah menjadi kebiasaan. Dan telah menjadi rehasia umum bahwa korupsi dalam institusi-institusi telah menggurita sebagai sebuah sistem. Maka tidak jarang bagi orang yang memiliki idealisme kuat, akan terpental(dipindah tempat) dari institusi tersebut.
 
Hal yang tidak jauh berbeda terjadi di lingkup DPR dan Pemimpin Daerah, ongkos pemilu yang sangat mahal menjadi pemicu utama perilaku korupsi ramai terjadi di kalangan mereka. Hal ini tidak lepas dari budaya money politik yang menjamur pasca reformasi, karena dewan dan Pemimpin Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Celakanya hukum saat ini sudah sangat tidak berdaya dalam mengadili para koruptor. Bahkan tidak sedikit hakim yang seharusnya mengadili justru di adili akibat terbukti menerima suap yang dilakukan koruptor. Nah, agaknya akan sia-sia saja pendidikan anti-korupsi masuk dalam kurikulum pendidikan secara formal kalau tidak di imbangi dengan proses dekonstruksi sosial-hukum secara simultan. Yang ada hanya menambah beban siswa akibat bertambahnya jumlah mata pelajaran di sekolah. Tapi, di luar efektif atau tidaknya, kita perlu mengapresiasi itikad baik yang dilakukan kemendikbud dan KPK.

Selama ini akademisi kita hanya mengenal korupsi sebagai tindakan memakan uang yang bukan hak nya, padahal mengurangi jam belajar merupakan salah satu perilaku korupsi. Tidak hanya itu, dunia pendidikan kita belum bisa keluar dari budaya mencontek. Kasus mencontek masal kerap terjadi khususnya dalam pelaksanaan ujian nasional yang merupakan momok siswa selama ini. Mendapat nilai yang tinggi di rapor/ijazah jauh lebih penting dari pada memahami apa inti dari apa yang diajarkan. Lulus Ujian Nasional adalah harga mati. Apapun harus ditempuh yang penting lulus. Parahnya lagi, itu dilakukan atas komando dari kepala sekolah.

Nah, untuk mengcover kurikulum anti-korupsi,  para pendidik harus mampu menghilangkan budaya-budaya buruk seperti mengkorupsi jam belajar, mencontek atau terlambat masuk kelas. Karena dengan membiasaakan diri bersikap disiplin dan jujur, maka perilaku anti korupsi akan masuk ke dalam jiwa generasi muda tidak sebatas teori belaka. Sekali lagi penulis tekankan, untuk membasmi generasi koruptor tidak cukup dengan mengenalkan secara teori semata melainkan butuh dekonstruksi aspek-aspek lainya. Karena korupsi saat ini adalah musuh yang paling besar, sehingga langkah antisipasi yang dilakukan harus kuat secara konsep dan praktisnya.

Kita masih ingat beberapa tahun lalu kemendikbud pernah menggulirkan program kantin kejujuran. Untuk melihat sejauh mana kefektifan adanya kurikulum pendidikan anti-korupsi tersebut, rasanya kemendikbud perlu menggulirkan kembali hal tersebut sebagai barometernya. Meskipun kevalidanya tidak menjamin, namun katin kejujuran merupakan barometer paling relevan saat ini.

Oleh : Folly Akbar

KOMENTAR  PENYUSUN :

Niat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menerapkan kurikulum  2013 secara utuh dan serentak di semua sekolah pada tahun ajaran baru sedang mengalami kendala. Kesiapan penerapan Kurikulum 2013 dinilai buruk, bahkan pemerintah dinilai terlalu percaya diri untuk menerapkan Kurikulum tersebut. Sejak awal tahun ajaran baru 2014, tepatnya 14 Juli 2014, pelaksanaan penerapannya menuai banyak protes, permasalahan pun muncul bak jamur di musim hujan.

Di antara permasalahan yang ramai diperbincangkan itu persiapan kurikulum yang terkesan kejar tayang, sebab pelatihan guru yang digelar secara masif dan serentak saat awal Ramadhan lalu hanya berlangsung lima hari. Dengan semua keterbatasan yang ada tentu tidak memungkinkan untuk mengubah mindset guru sesuai yang dikehendaki Kemendikbud.

Selain pelatihan guru yang kejar tayang dan kurang efisien, pelatihan kepala sekolah dan pengawas sekolah di daerah juga belum bisa dilaksanakan, padahal kepala sekolah dan pengawas punya peranan penting dalam mengawasi jalannya kurikulum. Di Jawa Tengah, misalnya, pelatihan kepala sekolah dan pengawas justru digabung dengan pelatihan guru, padahal jelas keduanya memiliki tugas dan fungsi berbeda. (Kompas, 5 Juli 2014).

Selain kurang terlatihnya guru sebagai ujung tombak pendidikan, keterlambatan pengadaan buku juga menjadi masalah dalam implementasi Kurikulum 2013, padahal tahun ajaran baru segera datang bahkan sudah dimulai meski belum masuk aktivitas efektif. Berbagai ketidaksiapan penerapan Kurikulum 2013 tersebut menunjukkan kinerja Kemendikbud tidak maksimal.

Berbagai protes dari kalangan pun muncul mulai dari pesimisme guru dalam menerapkan Kurikulum 2013, ketidakpercayaan sekolah terhadap Kurikulum 2013, demonstrasi menolak Kurikulum 2013, grup facebook mengatasnamakan koalisi menolak Kurikulum 2013 hingga yang membuat saya tersedak munculnya petisi untuk menolak Kurikulum 2013.

Petisi ini muncul dari situs Change.org yang meminta pengguna internet menandatangai petisi secara online guna menolak penerapan Kurikulum 2013.

Dalam petisi tersebut ada beberapa alasan dituliskan, di antaranya Kemendikbud membuat Kurikulum 2013 tanpa perencanaan yang matang, perubahan kurikulum tidak didahului dengan riset dan evaluasi, proses penyusunan yang rawan korupsi, penghapusan beberapa pelajaran yang dinilai penting, pengadaan buku yang rawan korupsi, tidak memikirkan nasib guru, perubahan yang terkesan asal-asalan hingga menguntungkan penerbit buku.

Jangan Buru-Buru Menolak
Menurut hemat penyusun, beberapa alasan yang diuraikan dalam petisi tersebut tidak seharusnya menjadi acuan baku untuk menolak Kurikulum 2013. Pada dasarnya perubahan kurikulum memang mutlak diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan. Memang kita telah mengalami banyak sekali perubahan kurikulum, tapi tentu perubahan itu dimaksudkan dengan niat baik.

Penyusun  pikir jika semua orang ditanyakan tentang kondisi pendidikan kita saat ini dengan segudang permasalahannya, pasti akan lebih banyak yang mengatakan pendidikan kita sedang  jalan di tempat atau bahkan mundur. Lihat saja hasil-hasil penelitan pendidikan semacam PISA atau TMISS yang menempatkan posisi Indonesia di angka paling belakang. Lantas, untuk memperbaiki hal tersebut perlu adanya perubahan. Ditambah lagi dengan persaingan Pasar Bebas ASEAN yang membuat bulu kuduk kita merinding jika membayangkan betapa tidak siapnya sumber daya manusia kita.

Mengenai alasan yang tertulis dalam petisi tersebut, penulis pikir tentu pemerintah sudah mempersiapkan kurikulum dengan matang. Dokumen resmi Kemendikbud tentang Kurikulum 2013, serta buku panduan dan pegangan guru sudah tersedia di website resmi Kemendikbud. Bahkan hingga rencana pelaksanaan pembelajaran, serta prosedur aktivitas pembelajaran, sudah disediakan dalam jaringan.

Ini yang menjadi kendala banyak guru di Indonesia kesulitan dalam mencari dan menentukan sendiri materi pelajaran yang sesuai dengan kondisi anak, padahal di negara-negara maju dengan sistem pendidikan terbaik bahkan sekolah tidak memiliki buku yang baku dari pemerintah. Sekolah dan guru menyusun sendiri kurikulum sesuai kebutuhan siswanya, dengan metode belajar yang juga sesuai kondisi siswa. Sedangkan kita hanya menunggu aturan baku dari pemerintah dan menjalankannya dengan kaku tanpa inovasi.

Mencuatnya permasalahan pendidikan dewasa ini, seperti tindak kekerasan di sekolah, tindak asusila di sekolah, pelecehan seks, tawuran antar pelajar hingga kriminalitas di kalangan pelajar, juga sudah jadi bukti kegagalan penerapan sistem pendidikan yang baik. Maka pantas untuk diubah ke arah yang lebih baik melalui pendidikan karakter lebih aplikatif yang tertuang dalam Kurikulum 2013.

Tentang rawannya korupsi dalam pengadaan dan penerapan Kurikulum 2013, tentu tidak ada kebijakan pemerintah yang tidak rawan korupsi, bahkan pengadaan Al-Qur an dan penyelenggaraan haji saja bisa dikorupsi. Ini sebuah keberhasilan sistem pendidikan zaman dulu yang menciptakan orang-orang pintar namun tidak berakhlak. Daripada menggerutu, ada baiknya kita sama-sama mengawasi dengan seksama kebijakan ini agar tidak terjadi kebocoran anggaran yang rawan dikorupsi tersebut.

Untuk Pendidikan Lebih Baik
Kita harus percaya pada dasarnya Kurikulum 2013 diniatkan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita yang sudah carut marut, mengingat banyaknya permasalah di dunia pendidikan yang menyeret para generasi muda saja rasanya sudah miris. Jika tidak ada perubahan, bagaimana kita bisa menciptakan Indonesia yang lebih baik. Perlu diketahui, Finlandia, Singapura, China sebagai negara yang diakui dunia memiliki sistem pendidikan terbaik, juga melakukan revolusi besar-besaran untuk mendapatkan predikat tersebut.

Jika dikaji lebih jauh dalam kegiatan belajar mengajar, Kurikulum 2013 memang membawa perubahan. Kurikulum 2013 lebih manusiawi, lebih humanis, memperlakukan siswa layaknya manusia, bukannya robot. Sayang, ini jadi salah satu alasan kurikulum ditolak, karena dianggap membebani guru. Padahal, guru yang tidak siap untuk berubah, tidak siap keluar dari zona nyaman, tidak siap belajar lebih banyak tentang sistem pendidikan yang baik.

Sebagai calon Guru yang nantinya akan berkutat dalam dunia pendidikan, serta sekolah yang mengusung konsep pendidikan manusiawi, penyusun sarankan untuk tidak buru-buru menolak Kurikulum 2013.

Memang penerapannya terkesan buru-buru dan dipaksakan. Inilah yang perlu kita perbaiki bersama dengan memberikan saran-saran demi perbaikan pelaksanaannya. Perlahan tapi pasti pendidikan kita memang harus mengalami revolusi agar tidak tertinggal semakin jauh dari negara lain.

( Oleh : Debi Liana Lestari )




Tidak ada komentar: