ANALISIS
PERMASALAHAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Setiap negara di dunia ini pasti akan melakukan interaksi
dengan negara-negara lain di sekitarnya. Biasanya bentuk kerjasama atau
interaksi itu berbentuk perdagangan antar negara atau yang lebih dikenal dengan
istilah perdagangan internasional. Perdagangan internasional adalah perdagangan
yang dilakukan oleh penduduk
disuatu negara (antarperorangan, anatar individu dengan pemerintah suatu negara
atau pemerintah suatu negara dengan negara lain) dengan penduduk di negara lain
atas dasar kesepakatan bersama.
Perdagangan
internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan
dengan adanya proses pertukaran barang dan jasa atas dasar suka rela dan saling
menguntungkan. Perdagangan Internasional juga dikenal dengan sebutan
perdagangan dunia. Perdagangan Internasional terbagi menjadi dua bagian yaitu
impor dan ekspor, yang biasanya disebut sebagai perdagangan ekspor impor.
Perdagangan
internasional terjadi karena kebutuhan dan kemampuan setiap negara dalam
menghasilkan barang dan jasa berbeda-beda. Perdagangan internasional juga
muncul karena sebuah negara ingin melakukan ekspansi terhadap produk atau jasa
yang dihasilkan di dalam negeri. Dengan adanya perdagangan internasional turut
mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran
perusahaan multinasional.
Ada
beberapa teori yang menjelaskan mengenai sebab akibat terjadinya perdagangan
internasional. Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith dan David Richardo.
Adam Smith dengan Teori Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage) di mana sebuah
keunggulan mutlak atau absolut adalah jika suatu negara mutlak dapat
menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Teori ini dilatarbelakangi oleh perbedaan
sumber daya alam, perbedaan kualitas tenaga kerja, perbedaan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), perbedaan jumlah penduduk, perbedaan iklim,
perbedaan pendapatan dan perbedaan modal yang dimiliki oleh berbagai negara di
dunia.
Model Adam Smith ini
memfokuskan pada keuntungan mutlak yang
menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan
negara tersebut mampu memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah
dibandingkan negara lain. Menurut teori ini jika harga barang dengan jenis sama
tidak memiliki perbedaan di berbagai negara maka tidak ada alasan untuk
melakukan perdagangan internasional. Adam Smith menganjurkan perdagangan bebas
sebagai kebijakan yang mampu mendorong kemakmuran suatu negara.
Ada juga teori yang di kemukakan oleh David Richardo,
yaitu Teori Keunggulan Komparatif
(Comparative Advantage). Teori ini
mengatakan bahwa setiap negara, akan memperoleh hasil dari perdagangannya
dengan mengekspor barang-barang atau jasa yang merupakan keunggulan komparatif terbesarnya
dan mengimpor barang-barang atau jasa yang bukan merupakan keunggulan
komparatifnya.
BEBERAPA
SEBAB MELAKUKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
1.
Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri
Perbedaan
iklim dan cuaca menyebabkan negara negara di dunia memiliki sumber daya yang
berbeda beda. Dengan perdagangan intersasional, Masyarakat dalam suatu negara
dapat mengkonsumsi barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Misalnya
saja: Indonesia belum dapat memproduksi mobil balap. Melalui perdagangan
internasional, masyarakat bisa memperoleh mobil balap dari negara yang
memproduksinya, dengan cara mengimpornya dari negara pem-produksi.
2.
Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab
utama kegiatan perdagangan luar negri adalah untuk memperoleh keuntungan yang
diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu
barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada
kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar
negri.Sebagai contoh : Amerika Serikat dan Jepang mempunyai kemampuan
untuk memproduksi kain. Akan tetapi, Jepang dapat memproduksi dengan lebih
efesien dari Amerika Serikat. Dalam keadaan seperti ini, untuk mempertinggi
keefisienan penggunaan faktor-faktor produksi, Amerika Serikat perlu mengurangi
produksi kainnya dan mengimpor barang tersebut dari Jepang. Dengan mengadakan
spesialisasi dan perdagangan, setiap negara dapat memperoleh keuntungan sebagai
beriku. Faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat
digunakan dengan lebih efesien. Setiap negara dapat menikmati lebih banyak
barang dari yang dapat diproduksi dalam negeri.
3. Memperluas Pasar dan Menambah Keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan
mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan
terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka.
Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan
mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar
negeri.
4. Transfer Teknologi Modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan
suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara
manajemen yang lebih modern.
5. Kebutuhan Devisa
Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh faktor
kebutuhan akan devisa suatu negara. Dalam memenuhi segala kebutuhannya setiap
negara harus memiliki cadangan devisa yang digunakan dalam melakukan
pembangunan, salah satu sumber devisa adalah pemasukan dari perdagangan
internasional.
Berikut
adalah data ekspor dan impor Indonesia dari tahun 2005-2013:
Tabel Ekspor - Impor Tahun 2005
-2013
|
||||
Tahun
|
Ekspor
|
Impor
|
Margin (defisit / surplus)
|
Presentase
|
2013
|
133,947,108,478
|
140,349,457,743
|
-6,402,349,265
|
-0.04
|
2012
|
190,031,845,244
|
191,691,001,109
|
-1,659,155,865
|
-0.01
|
2011
|
203,496,620,060
|
177,435,555,736
|
26,061,064,324
|
0.15
|
2010
|
157,779,103,470
|
135,663,284,048
|
22,115,819,422
|
0.13
|
2009
|
116,510,026,081
|
96,829,244,981
|
19,680,781,100
|
0.11
|
2008
|
137,020,424,402
|
129,197,306,224
|
7,823,118,178
|
0.04
|
2007
|
114,100,890,751
|
74,473,430,118
|
39,627,460,633
|
0.23
|
2006
|
100,798,624,280
|
61,065,465,536
|
39,733,158,744
|
0.23
|
2005
|
85,659,952,615
|
57,700,882,616
|
27,959,069,999
|
0.16
|
Sumber:
BPS
Dari
data ekspor dan impor pada tahun 2005 sampai dengan 2013 diatas, dapat terlihat
bahwa Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahunnya. Pertama untuk
Impor, pada tahun 2005, Indonesia hanya dapat mengimpor barang sebanyak 57.700
milyar USD. Sedangkan pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 61.065 USD
peningkatan ini tidak terlalu signifikan karena pada tahun selanjutnya 2007 ke
tahun 2008 mengalami kenaikan yang sangat drastis yaitu 129.197 milyar USD hal
ini dikarenakan pada tahun 2008 Indonesia sedang mengalami krisis moneter,
dimana perekonomian Indonesia sedang buruk, mengalami inflasi dan banyak jumlah
uang beredar sehingga menyebabkan harga di pasaran meningkat dan pemerintah
lebih memilih impor.
Pada
tahun 2009 Indonesia mengalami penurunan impor pasca krisis, yaitu sebesar
96.829 milyar USD, walaupun mengalami penurunan namun impor pada tahun ini
tidak sekecil pada tahun sebelum 2008. Indonesia mengalami keadaan impor
tertinggi pada tahun 2012, peningkatan impor ini diakibatkan oleh meningkatnya
impor non migas dan migas. Selain itu, kenaikan impor juga dipengaruhi oleh
meningkatnya impor bahan baku dan barang modal. Laju pertumbuhan impor yang
lebih tinggi dibandingkan komponen ekspor menyebabkan Indonesia masih mengalami
defisit neraca perdagangan. Namun pada tahun 2013 ini Indonesia dapat menurunkan
sektor impor sebesar 51.351 juta USD.
Untuk
sektor ekspor dari tahun 2005 hingga 2008 mengalami pertumbuhan yang konstan
tetapi ekspor pada tahun tersebut jauh lebih besar jumlahnya daripada impor,
dengan selisih pertambahan sebesar 15 – 23 juta USD per tahunnya. Di tengah
melambatnya ekspor, permintaan domestik yang masih kuat menyebabkan impor masih
tumbuh cukup tinggi. Jika ekspor lebih tinggi daripada impor maka neraca
perdagangan dapat tidak mengalami defisit. Pada tahun 2011 Indonesia mengalami
peningkatan ekspor yang sangat drastis dari tahun sebelumnya sebesar 33 juta
USD dengan nilai ekspor 203.496 milyar USD. Sejak tahun 2005 hingga 2013,
sektor ekspor cenderung lebih tinggi daripada sektor impor. Berarti masyarakat
luar negeri masih percaya dan menyukai produk Indonesia. Hal ini juga
dikarenakan adanya kontribusi lebih dari sektor pertambangan dan perikanan, hal
ini disebabkan melonjaknya harga barang tersebut di luar negeri. Hanya pada
tahun 2012 dan 2013 saja ekspor Indonesia lebih kecil daripada impor, hal ini
menyebabkan neraca perdagangan mengalami defisit. Pada tahun 2013 ini, dalam
kondisi perekonomian global yang tidak menentu, kontribusi ekspor mengalami
penurunan drastis sebesar 57 juta USD, hal ini diakibatkan permintaan global
yang sedang menurun.
Impor
pada tahun 2013 ini lebih besar daripada ekspor, hal ini karena akan banyak
realisasi dari kesepakatan investasi kurun 2012-2013 seperti pembangunan pabrik
(mesin, bahan baku, bahan penolong dan lain-lain) yang masih berjalan hingga
tahun depan. Implementasi dari investasi tersebut akan membuat tekanan yang
cukup tinggi terhadap impor sehingga mau tidak mau harus dilakukan.
Indonesia
harus bersiap akan hal tersebut karena negara ini masih menjadi magnet bagi
investor untuk menanamkan modalnya. Dengan masuknya banyak investor ini akan
membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin kuat. Sehingga nanti pada tahun
2015, yang sekarang investasi, membangun pabrik dan lain-lain, akan mulai
produksi dan sebagian ada yang melakukan ekspor. Kita bisa bayangkan, dengan
pemulihan ekonomi, maka pertumbuhan Indonesia akan sangat mungkin jauh lebih
besar dari sekarang. Berikut adalah presentase perubahan ekspor dan impor
menurut tahun.
Sumber:
BPS
Selain
mendatangkan manfaat, perdagangan internasional menimbulkan masalah bagi
beberapa negara yang belum siap untuk menghadapi hal tersebut, salah satunya
Indonesia. Masalah yang dihadapi Indonesia dalam hal perdagangan internasional
yaitu:
A. Pemberlakuan
ACFTA atau ASEAN-China Free Trade Area pada 1 Januari 2013 lalu
menimbulkan pro-kontra. Sebagian masyarakat menganggap ACFTA sebagai tantangan
bagi Indonesia untuk maju, namun sebagian lainnya menganggap ACFTA sebagai kado
pahit di awal tahun.
ACFTA
menggunakan prinsip perdagangan bebas. Perdagangan bebas tersebut didefinisikan
sebagai tidak adanya hambatan buatan, yakni hambatan yang diterapkan pemerintah
dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang
berada di negara yang berbeda.
Bagi
pendukung ACFTA, kesepakatan ini akan bermakna besar bagi kepentingan
geostrategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan
(Kompas, Senin, 18 Januari 2010). Namun bagi penentangnya, penerapan ACFTA
dikhawatirkan bakal menghancurkan industri nasional. Sebab, tarif bea masuk
barang-barang dari China ke ASEAN, khususnya Indonesia menjadi nol persen. Hal
ini tentu akan mengancam industri dalam negeri dikarenakan produk China
terkenal dengan harga murah. Penerapan ACFTA memang membawa konsekuensi yang
besar. Tanpa kebijakan yang sistematis dan terarah, kesepakatan ACFTA hanya
akan menjadi bumerang bagi Indonesia.
Siap
atau tidak, Indonesia harus membuka pasar dalam negeri secara luas kepada
negara-negara ASEAN dan Cina. Pendirian ACFTA akan mempunyai dampak kepada Indonesia,
baik dampak positif maupun negatif. Positifnya, Indonesia dengan mudahnya
mendapatkan barang impor hasil olahan China, dimana masyarakat Indonesia bisa
memenuhi kebutuhannya yang tidak bisa diproduksi dalam negeri. Namun, adanya
ACFTA juga akan berdampak negatif terhadap perekonomian dan masyarakat
Indonesia. Salah satunya sifat ketergantungan terhadap barang impor khususnya
buatan China. Sebelum adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Cina saja,
kita sudah mendapatkan hampir segala lini produk yang dipergunakan di rumah dan
perkantoran bertuliskan Made in China. Oleh karena itu, pemberlakuan pasar
bebas ASEAN-China sudah pasti menimbulkan dampak sangat negatif, diantaranya:
1. Serbuan
produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor
ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami
proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang
dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan
dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan
penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar
yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM
(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian
Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga
Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan
dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina.
2. Pasar
dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat
bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di
berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja.
3. Karakter
perekonomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya
bergantung pada asing. Bahkan produk “sepele” seperti jarum dan peniti saja
harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan
sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai
asing.
4. Data
menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak
2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke
Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat
mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang
memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat
digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi
untuk menggerakkan ekonominya.
5. ACFTA
akan membuat Indonesia mengalami deindustrialisasi, karena produk hasil
industri Indonesia kalah bersaing dengan produk China. Dampaknya, ketersediaan
lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru
bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja
jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Pengangguran
besar-besaran pasti akan terjadi. Padahal salah satu cara untuk menyerap tenaga
kerja adalah melalui industri. Walhasil, perdagangan bebas yang dijalani
Pemerintah Indonesia pada hakikatnya adalah ‘bunuh diri’ secara ekonomi.
B.
Adanya larangan ekspor bahan mentah mineral yang akan
diterapkan Januari 2014. Perusahaan pertambangan diharuskan melakukan
pengolahan pemurnian biji mineral dalam negeri mulai 12 Januari 2014. para
pemegang kontrak karya pertambangan jelas tak akan kesulitan untuk memenuhi
kewajiban membangun smelter. Sebaliknya, para pengusaha tambang nasional
yang baru beroperasi sekitar 3-7 tahun akan kesulitan membangun power plant
serta infrastruktur lain yang membutuhkan biaya besar. Asosiasi Pengusaha
Mineral Indonesia (Apemindo) menilai larangan ekspor tersebut diskriminatif,
hanya menguntungkan pengusaha asing pemegang kontrak karya (KK) pertambangan
yang saat ini menguasai hampir 70 persen industri tambang dan migas di
Indonesia.
Dalam menghadapi masalah di atas
beberapa kebijakan yang dapat dilakukan adalah:
Berbagai negara terus berupaya
meningkatkan daya saing produknya agar produk-produknya lebih efisien dan laku
di pasaran. Untuk meningkatkan daya saing antara lain ditempuh beberapa langkah
baik peningkatan efisiensi, menekan biaya produksi, perbaikan iklim usaha,
perbaikan infrastruktur serta mengurangi berbagai bentuk pungutan.
1.Menciptakan
biaya produksi yang rendah, Biaya produksi rendah bagi industri dalam negeri
dapat diciptakan dengan pertama, menurunkan suku bunga pinjaman bank.
Suku bunga pinjaman yang diterapkan di Indonesia adalah sebesar 13,6 persen.
Suku bunga tersebut dianggap terlalu tinggi dan membebani para pengusaha,
terutama pengusaha UKM. Bunga yang relatif tinggi memberikan keengganan bagi
perusahaan maupun perorangan untuk meminjam uang karena biayanya dianggap masih
mahal. Implikasi bunga pinjaman yang tinggi lainnya adalah akan menyebabkan sektor
manufaktur sulit bersaiang. Bunga pinjaman tersebut akan membebani ongkos
kapital sehingga menaikkan biaya produksi. Dan selanjutnya seperti yang telah
disebutkan di atas yakni membuat biaya produksi tinggi dan memaksa harga produk
pun menjadi lebih mahal. Dengan demikian diperlukan penurunan suku bunga
pinjaman agar meringankan beban biaya produksi dan juga mendorong pembukaan
usaha-usaha baru agar terbuka kesempatan kerja yang lebih luas.
2. Memperbaiki
infrastruktur, Ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap
pengurangan biaya produksi. Penurunan kinerja infrastruktur berimplikasi pada
terhambatnya distribusi barang dan jasa yang menyebabkan kenaikan biaya angkut,
sehingga biaya produksi meningkat. Hal inilah mengapa perbaikan infrastruktur
akan sangat menekan biaya produksi.
3. Pengembangan
komoditas berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif, Keunggulan di sektor
perkebunan perlu mendapat perhatian khusus. Diperlukan pengembangan
produk-produk perkebunan bernilai tambah berupa olahan. Sehingga ekspor
komoditas perkebunan tidak lagi berupa bahan mentah, namun mempunyai nilai
tambah yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi.
4. Pengembangan
industri harus diarahkan pada basis kemampuan sumber daya manusia termasuk
penguasaan teknologi, inovasi dan kreativitas.
5. Ekspor
bahan mentah seharusnya dibatasi. Sebaliknya, ekspor barang-barang hasil
pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah harus terus ditingkatkan selama
telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebaliknya, impor barang-barang yang
bisa mengancam industri dalam negeri harus dibatasi. Impor seharusnya hanya
terbatas pada barang-barang yang bisa memperkuat industri di dalam negeri.
Kewajiban negara adalah memastikan
tersedianya bahan baku, energi, modal dan pembinaan terhadap pelaku ekonomi
rakyatnya. Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga
betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar