Jumat, 26 Desember 2014

ANALISIS GLOBAL MARKET


ANALISIS PERMASALAHAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Setiap negara di dunia ini pasti akan melakukan interaksi dengan negara-negara lain di sekitarnya. Biasanya bentuk kerjasama atau interaksi itu berbentuk perdagangan antar negara atau yang lebih dikenal dengan istilah perdagangan internasional. Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk disuatu negara (antarperorangan, anatar individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan negara lain) dengan penduduk di negara lain atas dasar kesepakatan bersama.

Perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonomi antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang dan jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan. Perdagangan Internasional juga dikenal dengan sebutan perdagangan dunia. Perdagangan Internasional terbagi menjadi dua bagian yaitu impor dan ekspor, yang biasanya disebut sebagai perdagangan ekspor impor.

Perdagangan internasional terjadi karena kebutuhan dan kemampuan setiap negara dalam menghasilkan barang dan jasa berbeda-beda. Perdagangan internasional juga muncul karena sebuah negara ingin melakukan ekspansi terhadap produk atau jasa yang dihasilkan di dalam negeri. Dengan adanya perdagangan internasional turut mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional.

Ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai sebab akibat terjadinya perdagangan internasional. Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith dan David Richardo.

Adam Smith dengan Teori Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage) di mana sebuah keunggulan mutlak atau absolut adalah jika suatu negara mutlak dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Teori ini dilatarbelakangi oleh perbedaan sumber daya alam, perbedaan kualitas tenaga kerja, perbedaan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), perbedaan jumlah penduduk, perbedaan iklim, perbedaan pendapatan dan perbedaan modal yang dimiliki oleh berbagai negara di dunia.

Model Adam Smith ini memfokuskan pada keuntungan mutlak yang menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan negara tersebut mampu memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Menurut teori ini jika harga barang dengan jenis sama tidak memiliki perbedaan di berbagai negara maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional. Adam Smith menganjurkan perdagangan bebas sebagai kebijakan yang mampu mendorong kemakmuran suatu negara.

Ada juga teori yang di kemukakan oleh David Richardo, yaitu Teori Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage). Teori ini mengatakan bahwa setiap negara, akan memperoleh hasil dari perdagangannya dengan mengekspor barang-barang atau jasa yang merupakan keunggulan komparatif terbesarnya dan mengimpor barang-barang atau jasa yang bukan merupakan keunggulan komparatifnya.

BEBERAPA SEBAB MELAKUKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri
Perbedaan iklim dan cuaca menyebabkan negara negara di dunia memiliki sumber daya yang berbeda beda. Dengan perdagangan intersasional, Masyarakat dalam suatu negara dapat mengkonsumsi barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Misalnya saja: Indonesia belum dapat memproduksi mobil balap. Melalui perdagangan internasional, masyarakat bisa memperoleh mobil balap dari negara yang memproduksinya, dengan cara mengimpornya dari negara pem-produksi.

2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negri.Sebagai contoh : Amerika Serikat dan Jepang mempunyai kemampuan untuk memproduksi kain. Akan tetapi, Jepang dapat memproduksi dengan lebih efesien dari Amerika Serikat. Dalam keadaan seperti ini, untuk mempertinggi keefisienan penggunaan faktor-faktor produksi, Amerika Serikat perlu mengurangi produksi kainnya dan mengimpor barang tersebut dari Jepang. Dengan mengadakan spesialisasi dan perdagangan, setiap negara dapat memperoleh keuntungan sebagai beriku. Faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efesien. Setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang dari yang dapat diproduksi dalam negeri.

3. Memperluas Pasar dan Menambah Keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.

4. Transfer Teknologi Modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

5. Kebutuhan Devisa
Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan devisa suatu negara. Dalam memenuhi segala kebutuhannya setiap negara harus memiliki cadangan devisa yang digunakan dalam melakukan pembangunan, salah satu sumber devisa adalah pemasukan dari perdagangan internasional.

Berikut adalah data ekspor dan impor Indonesia dari tahun 2005-2013:
Tabel Ekspor - Impor Tahun 2005 -2013
Tahun
Ekspor
Impor
Margin (defisit / surplus)
Presentase
2013
133,947,108,478
140,349,457,743
-6,402,349,265
-0.04
2012
190,031,845,244
191,691,001,109
-1,659,155,865
-0.01
2011
203,496,620,060
177,435,555,736
26,061,064,324
0.15
2010
157,779,103,470
135,663,284,048
22,115,819,422
0.13
2009
116,510,026,081
96,829,244,981
19,680,781,100
0.11
2008
137,020,424,402
129,197,306,224
7,823,118,178
0.04
2007
114,100,890,751
74,473,430,118
39,627,460,633
0.23
2006
100,798,624,280
61,065,465,536
39,733,158,744
0.23
2005
85,659,952,615
57,700,882,616
27,959,069,999
0.16

Sumber: BPS

Dari data ekspor dan impor pada tahun 2005 sampai dengan 2013 diatas, dapat terlihat bahwa Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahunnya. Pertama untuk Impor, pada tahun 2005, Indonesia hanya dapat mengimpor barang sebanyak 57.700 milyar USD. Sedangkan pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 61.065 USD peningkatan ini tidak terlalu signifikan karena pada tahun selanjutnya 2007 ke tahun 2008 mengalami kenaikan yang sangat drastis yaitu 129.197 milyar USD hal ini dikarenakan pada tahun 2008 Indonesia sedang mengalami krisis moneter, dimana perekonomian Indonesia sedang buruk, mengalami inflasi dan banyak jumlah uang beredar sehingga menyebabkan harga di pasaran meningkat dan pemerintah lebih memilih impor.

Pada tahun 2009 Indonesia mengalami penurunan impor pasca krisis, yaitu sebesar 96.829 milyar USD, walaupun mengalami penurunan namun impor pada tahun ini tidak sekecil pada tahun sebelum 2008. Indonesia mengalami keadaan impor tertinggi pada tahun 2012, peningkatan impor ini diakibatkan oleh meningkatnya impor non migas dan migas. Selain itu, kenaikan impor juga dipengaruhi oleh meningkatnya impor bahan baku dan barang modal. Laju pertumbuhan impor yang lebih tinggi dibandingkan komponen ekspor menyebabkan Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan. Namun pada tahun 2013 ini Indonesia dapat menurunkan sektor impor sebesar 51.351 juta USD.

Untuk sektor ekspor dari tahun 2005 hingga 2008 mengalami pertumbuhan yang konstan tetapi ekspor pada tahun tersebut jauh lebih besar jumlahnya daripada impor, dengan selisih pertambahan sebesar 15 – 23 juta USD per tahunnya. Di tengah melambatnya ekspor, permintaan domestik yang masih kuat menyebabkan impor masih tumbuh cukup tinggi. Jika ekspor lebih tinggi daripada impor maka neraca perdagangan dapat tidak mengalami defisit. Pada tahun 2011 Indonesia mengalami peningkatan ekspor yang sangat drastis dari tahun sebelumnya sebesar 33 juta USD dengan nilai ekspor 203.496 milyar USD. Sejak tahun 2005 hingga 2013, sektor ekspor cenderung lebih tinggi daripada sektor impor. Berarti masyarakat luar negeri masih percaya dan menyukai produk Indonesia. Hal ini juga dikarenakan adanya kontribusi lebih dari sektor pertambangan dan perikanan, hal ini disebabkan melonjaknya harga barang tersebut di luar negeri. Hanya pada tahun 2012 dan 2013 saja ekspor Indonesia lebih kecil daripada impor, hal ini menyebabkan neraca perdagangan mengalami defisit. Pada tahun 2013 ini, dalam kondisi perekonomian global yang tidak menentu, kontribusi ekspor mengalami penurunan drastis sebesar 57 juta USD, hal ini diakibatkan permintaan global yang sedang menurun.

Impor pada tahun 2013 ini lebih besar daripada ekspor, hal ini karena akan banyak realisasi dari kesepakatan investasi kurun 2012-2013 seperti pembangunan pabrik (mesin, bahan baku, bahan penolong dan lain-lain) yang masih berjalan hingga tahun depan. Implementasi dari investasi tersebut akan membuat tekanan yang cukup tinggi terhadap impor sehingga mau tidak mau harus dilakukan.

Indonesia harus bersiap akan hal tersebut karena negara ini masih menjadi magnet bagi investor untuk menanamkan modalnya. Dengan masuknya banyak investor ini akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin kuat. Sehingga nanti pada tahun 2015, yang sekarang investasi, membangun pabrik dan lain-lain, akan mulai produksi dan sebagian ada yang melakukan ekspor. Kita bisa bayangkan, dengan pemulihan ekonomi, maka pertumbuhan Indonesia akan sangat mungkin jauh lebih besar dari sekarang. Berikut adalah presentase perubahan ekspor dan impor menurut tahun.

Sumber: BPS

Selain mendatangkan manfaat, perdagangan internasional menimbulkan masalah bagi beberapa negara yang belum siap untuk menghadapi hal tersebut, salah satunya Indonesia. Masalah yang dihadapi Indonesia dalam hal perdagangan internasional yaitu:

A. Pemberlakuan ACFTA atau ASEAN-China Free Trade Area pada 1 Januari 2013 lalu menimbulkan pro-kontra. Sebagian masyarakat menganggap ACFTA sebagai tantangan bagi Indonesia untuk maju, namun sebagian lainnya menganggap ACFTA sebagai kado pahit di awal tahun.
ACFTA menggunakan prinsip perdagangan bebas. Perdagangan bebas tersebut didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan, yakni hambatan yang diterapkan pemerintah dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.

Bagi pendukung ACFTA, kesepakatan ini akan bermakna besar bagi kepentingan geostrategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan (Kompas, Senin, 18 Januari 2010). Namun bagi penentangnya, penerapan ACFTA dikhawatirkan bakal menghancurkan industri nasional. Sebab, tarif bea masuk barang-barang dari China ke ASEAN, khususnya Indonesia menjadi nol persen. Hal ini tentu akan mengancam industri dalam negeri dikarenakan produk China terkenal dengan harga murah. Penerapan ACFTA memang membawa konsekuensi yang besar. Tanpa kebijakan yang sistematis dan terarah, kesepakatan ACFTA hanya akan menjadi bumerang bagi Indonesia.

Siap atau tidak, Indonesia harus membuka pasar dalam negeri secara luas kepada negara-negara ASEAN dan Cina. Pendirian ACFTA akan mempunyai dampak kepada Indonesia, baik dampak positif maupun negatif. Positifnya, Indonesia dengan mudahnya mendapatkan barang impor hasil olahan China, dimana masyarakat Indonesia bisa memenuhi kebutuhannya yang tidak bisa diproduksi dalam negeri. Namun, adanya ACFTA juga akan berdampak negatif terhadap perekonomian dan masyarakat Indonesia. Salah satunya sifat ketergantungan terhadap barang impor khususnya buatan China. Sebelum adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Cina saja, kita sudah mendapatkan hampir segala lini produk yang dipergunakan di rumah dan perkantoran bertuliskan Made in China. Oleh karena itu, pemberlakuan pasar bebas ASEAN-China sudah pasti menimbulkan dampak sangat negatif, diantaranya:
             1.     Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina.
             2.     Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja.
             3.     Karakter perekonomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “sepele” seperti jarum dan peniti saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing.
             4.     Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.
             5.     ACFTA akan membuat Indonesia mengalami deindustrialisasi, karena produk hasil industri Indonesia kalah bersaing dengan produk China. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Pengangguran besar-besaran pasti akan terjadi. Padahal salah satu cara untuk menyerap tenaga kerja adalah melalui industri. Walhasil, perdagangan bebas yang dijalani Pemerintah Indonesia pada hakikatnya adalah ‘bunuh diri’ secara ekonomi.
B.  Adanya larangan ekspor bahan mentah mineral yang akan diterapkan Januari 2014. Perusahaan pertambangan diharuskan melakukan pengolahan pemurnian biji mineral dalam negeri mulai 12 Januari 2014. para pemegang kontrak karya pertambangan jelas tak akan kesulitan untuk memenuhi kewajiban membangun smelter. Sebaliknya, para pengusaha tambang nasional yang baru beroperasi sekitar 3-7 tahun akan kesulitan membangun power plant serta infrastruktur lain yang membutuhkan biaya besar. Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) menilai larangan ekspor tersebut diskriminatif, hanya menguntungkan pengusaha asing pemegang kontrak karya (KK) pertambangan yang saat ini menguasai hampir 70 persen industri tambang dan migas di Indonesia.

Dalam menghadapi masalah di atas beberapa kebijakan yang dapat dilakukan adalah:

Berbagai negara terus berupaya meningkatkan daya saing produknya agar produk-produknya lebih efisien dan laku di pasaran. Untuk meningkatkan daya saing antara lain ditempuh beberapa langkah baik peningkatan efisiensi, menekan biaya produksi, perbaikan iklim usaha, perbaikan infrastruktur serta mengurangi berbagai bentuk pungutan.
          1.Menciptakan biaya produksi yang rendah, Biaya produksi rendah bagi industri dalam negeri dapat diciptakan dengan pertama, menurunkan suku bunga pinjaman bank. Suku bunga pinjaman yang diterapkan di Indonesia adalah sebesar 13,6 persen. Suku bunga tersebut dianggap terlalu tinggi dan membebani para pengusaha, terutama pengusaha UKM. Bunga yang relatif tinggi memberikan keengganan bagi perusahaan maupun perorangan untuk meminjam uang karena biayanya dianggap masih mahal. Implikasi bunga pinjaman yang tinggi lainnya adalah akan menyebabkan sektor manufaktur sulit bersaiang. Bunga pinjaman tersebut akan membebani ongkos kapital sehingga menaikkan biaya produksi. Dan selanjutnya seperti yang telah disebutkan di atas yakni membuat biaya produksi tinggi dan memaksa harga produk pun menjadi lebih mahal. Dengan demikian diperlukan penurunan suku bunga pinjaman agar meringankan beban biaya produksi dan juga mendorong pembukaan usaha-usaha baru agar terbuka kesempatan kerja yang lebih luas.
     2.   Memperbaiki infrastruktur, Ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Penurunan kinerja infrastruktur berimplikasi pada terhambatnya distribusi barang dan jasa yang menyebabkan kenaikan biaya angkut, sehingga biaya produksi meningkat. Hal inilah mengapa perbaikan infrastruktur akan sangat menekan biaya produksi.
             3.     Pengembangan komoditas berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif, Keunggulan di sektor perkebunan perlu mendapat perhatian khusus. Diperlukan pengembangan produk-produk perkebunan bernilai tambah berupa olahan. Sehingga ekspor komoditas perkebunan tidak lagi berupa bahan mentah, namun mempunyai nilai tambah yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi.
             4.     Pengembangan industri harus diarahkan pada basis kemampuan sumber daya manusia termasuk penguasaan teknologi, inovasi dan kreativitas.
             5.     Ekspor bahan mentah seharusnya dibatasi. Sebaliknya, ekspor barang-barang hasil pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah harus terus ditingkatkan selama telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebaliknya, impor barang-barang yang bisa mengancam industri dalam negeri harus dibatasi. Impor seharusnya hanya terbatas pada barang-barang yang bisa memperkuat industri di dalam negeri.
Kewajiban negara adalah memastikan tersedianya bahan baku, energi, modal dan pembinaan terhadap pelaku ekonomi rakyatnya. Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat.


Tidak ada komentar: