KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas berkat rahmat serta
karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan Makalah Etika Bisnis Dalam Islam.
Makalah
ini disusun sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban tertulis
dalam rangka memenuhi persyaratan tugas Individu
EKT II mata kuliah Etika Bisnis Islam,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Ekonomi Semester
VII (kelas 7C sore) Universitas
Islam Syekh Yusuf Tangerang.
Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, baik dalam penyajian
materi maupun dalam pemeparannya. Hal tersebut disebabkan semata-mata karena
keterbatasan dan kemampuan penyusun. Karena itu, penyusun mengharapkan saran
serta masukan yang membangun guna menyempurnakan makalah ini.
Atas
segala bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penyusun, sekali lagi
penyusun mengucapkan terima kasih semoga Allah SWT membalasnya dengan berlipat
ganda.
Akhir
kata semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun, umumnya bagi para
pembaca dan semoga menjadi bahan inspirasi bagi generasi selanjutnya.
Tangerang, Desember
2014
Penyusun
DAFTAR
ISI
SAMPUL
DEPAN
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
( 1 )
B. Rumusan Masalah ( 2 )
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Etika Bisnis Dalam Islam ( 5 )
B.
Aktivitas Bisnis
Yang Terlarang Dalam Syariah (10)
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan (15)
B. Saran (16)
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Kegiatan bisnis
(usaha) dalam kacamata Islam, bukanlah kegiatan yang boleh dilakukan dengan
serampangan dan sesuka hati. Islam memberikan rambu-rambu pedoman dalam
melakukan kegiatan usaha, mengingat pentingnya masalah ini juga mengingat
banyaknya manusia yang tergelincir dalam perkara bisnis ini. Faktanya terdapat
ancaman keras bagi pelaku bisnis yang tidak mempedulikan etika, tetapi juga
janji berupa keutamaan yang besar bagi mereka yang benar-benar menjaga dirinya
dari hal-hal yang diharamkan.
Dalam kehidupan realiti, bisnis baik sebagai aktivitas
maupun sebagai entitas, telah ada dalam sistem dan strukturnya yang “baku”.
Bisnis berjalan sebagai proses yang telah menjadi kegiatan manusia sebagai
individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi
keinginan dan kebutuhan hidupnya. Sementara itu, etika telah dipahami sebagai
sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan karenanya terpisah dari bisnis.
Etika adalah ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai
apa-apa yang benar atau yang salah, yang baik atau buruk, yang bermanfaat atau
tidak. Dalam kenyataan itu bisnis dan etika dipahami sebagai dua hal
yang terpisah bahkan tidak ada kaitannya. Jika pun ada malah dipandang sebagai
hubungan negatif dimana, praktek bisnis merupakan kegiatan yang bertujuan
mencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi persaingan bebas. Sebaliknya etika
bila diterapkan dalam dunia bisnis dianggap dapat mengganggu upaya mencapai
tujuan bisnis. Dengan demikian hubungan antara bisnis dan etika telah melahirkan hal yang
problematis.
Pembahasaan mengenai
prinsip Islam dalam dunia usaha tentunya sangatlah panjang, tetapi dalam
bahasan singkat ini kita bisa mendapat gambaran tentang garis besar tentang
prinsip-prinsip moral yang harus dipegang teguh oleh seorang pebisnis Muslim.
B. Rumusan Masalah
Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970-an
kemudian meluas ke Eropa tahun 1980 an dan menjadi fenomena global di tahun
1990 an jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan yang membicarakan
masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai terlibat dalam
memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai
suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika
Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak
kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika
sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri
negara-negara maju yang menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi,
Amerika menolaknya.
Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam
tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi
Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam disebarluaskan terutama
melalui para pedagang muslim. Dalam Al Qur’an terdapat peringatan terhadap
penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara
halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba”.
Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di
tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat
pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan,
sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”.
Dawam Rahardjo justru mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang
menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggungjawab manusia terhadap Tuhan
mengutipnya dari ajaran Islam.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak
pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk
memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha muslim
berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup
Husnul Khuluq.
Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan
akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak
mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan
praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam
bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna
kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan dalam jual
belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan
kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga” (Hadits).
Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan
seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan
memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur yang
melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya,
sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak ada
iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada
agama bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah
(tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para
syuhada” (Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim,
toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah
mempermudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya
modal ”Allah mengasihi orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli
serta melunasi hutang” (Hadits). Konsekuen terhadap akad dan perjanjian
merupakan kunci sukses yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah
kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS: Al-
Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan orang dari
kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tiga perkara,
ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia
khianat” (Hadits).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Etika Bisnis Dalam Islam
Kegiatan bisnis
(usaha) dalam kacamata Islam, bukanlah kegiatan yang boleh dilakukan dengan
serampangan dan sesuka hati. Islam memberikan rambu-rambu pedoman dalam
melakukan kegiatan usaha, mengingat pentingnya masalah ini juga mengingat
banyaknya manusia yang tergelincir dalam perkara bisnis ini. Faktanya terdapat
ancaman keras bagi pelaku bisnis yang tidak mempedulikan etika, tetapi juga
janji berupa keutamaan yang besar bagi mereka yang benar-benar menjaga dirinya
dari hal-hal yang diharamkan.
Pembahasaan mengenai
prinsip Islam dalam dunia usaha tentunya sangatlah panjang, tetapi dalam
bahasan singkat ini kita bisa mendapat gambaran tentang garis besar tentang
prinsip-prinsip moral yang harus dipegang teguh oleh seorang pebisnis Muslim.
1. Niat yang Ikhlas.
Keikhlasan adalah
perkara yang amat menentukan. Dengan niat yang ikhlas, semua bentuk pekerjaan
yang berbentuk kebiasaan bisa bernilai ibadah. Dengan kita lain aktivitas usaha
yang kita lakukan bukan semata-mata urusan harta an perut tapi berkaitan erat
dengan urusan akhirat.
Allah telah
menegaskan bahwa hakekatnya tujuan manusia diciptakan di muka bumi adalah untuk
beribadah kepadaNya “ Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepaKu”(QS Adz Dzariyat ayat 56), maka tentunya semua aktivitas kita
di dunia tidak lepas dari tujuan itu pula. Rasulullah bersabda “ Sesungguhnya
amalan itu dengan niatnya ….”(Shahih Targhib wa Tarhib No.10). Contoh niat yang
ikhlas dalam usaha bisa berlaku dlam lingkup pribadi maupun sosial. Dalam
lingkup pribadi misalnya meniatkan usaha yang halal untuk menjaga diri dari
memakan harta dengan cara haram, memelihara diri dari sikap meminta-minta,
untuk mendukung kesempurnaan ibadah kepada Allah, menjaga silaturrahim dan
hubungan kerabat dan motivasi positif lainya
Dalam lingkup
sosial, misalnya meniatkan diri mencari harta untuk ikut andil dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat muslim, memberi kesempatan bekerja yang halal bagi orang
lain, membebaskan ummat dari ketergantungan terhadap produk “orang lain”, dan
motif sosial lainnya. Niat-seperti dikatakan sebagian orang adalah bisnisnya
para ulama. Karena pahala dari suatu perbuatan bisa bertambah berkali-kali
lipat jika didasari dengan niat yang ikhlas.
2. Akhlaq yang Mulia
Menjaga sikap dan
perilaku dalam berbisnis adalah prinsip penting bagi seorang pebisnis muslim.
Ini karena Islam sangat menekankan perilaku (aklhaq) yang baik dalam setiap
kesempatan, termasuk dalam berbisnis. Sebagaimana sabda Rasulullah “….dan
pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik” (Sahihul Jami’ No 97).
Akhlaq mulia dalam
berbisnis ditekankan oleh Rasulullah dalam sabdanya “Seorang pedagang yang
jujur dan dapat dipercaya akan dikumpulkan bersama para nabi para shiddiq dan
oarang-orang yang mati syahid. Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda
“Semoga Allah memberi rahmatNya kepada orang yang suka memberi kelonggaran
kepada orang lain ketika menjual, membeli atau menagih hutang” (Shahih Bukhari
No.2076). Di antara akhlaq mulia dalam berbisnis adalah menepati janji, jujur,
memenuhi hak orang lain, bersikap toleran dan suka memberi kelonggaran.
3. Usaha yang
halal
Seorang pebisnis
muslim tentunya tidak ingin jika darah dagingnya tumbuh dari barang haram, ia pun
tak ingin memberi makan keluarganya dari sumber yang haram karena sungguh berat
konsekuensinya di akhirat nanti. Dengan begitu, ia akan selalu berhati-hati dan
berusaha melakuan usaha sebatas yang dibolehkan oleh Allah dan RasulNya. Rasulullah
bersabda : “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram maka neraka lebih
berhak baginya” (Shahihul Jami’ No. 4519)
4. Menunaikan
Hak
Seorang pebisnis
muslim selayaknya bersegera dalam menunaikan haknya, seperti hak karyawannya
mendapat gaji, tidak menunda pembayaran tanggungan atau hutang, dan yang
terpenting adalah hak Allah dalam soal harta seperti membayar zakat yang wajib.
Juga, hak-hak orang lain dalam perjanjian yang telah disepakati. Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah peringatan Rasulullah kepada oarang mampu yang menunda pembayaran
hutangnya “Orang kaya yang memperlambat pembayaran hutang adalah kezaliman” (HR
Bukhari, Muslim dan Malik).
5.
Menghindari riba dan segala sarananya
Soerang muslim tentu
meyakini bahwa riba termasuk dosa besar, yang sangat keras ancamannya. Maka
pebisnis muslim akan berusaha keras untuk tidak terlibat sedikitpun dalam
kegiatan usaha yang mengandung unsur riba. Ini mengingat ancaman terhadap riba
bukan hanya kepada pemakannya tetapi juga pemberi, pencatat, atau saksi sekalipun
disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah melaknat mereka
semuanya dan menegaskan bahwa mereka semua sama saja (Shahih Muslim No. 1598).
6. Tidak
memakan harta orang lain dengan cara bathil
Tidak halal bagi
seorang muslim untuk mengambil harta orang lain secara tidak sah. Allah dengan
tegas telah melarang hal ini dalam kitabNya. Ini meliputi segala kegiatan yang
dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain yang menjadi rekan bisnisnya, baik
itu dengan cara riba, judi, kamuflase harga, menyembunyikan cacat barang atau
produk, menimbun, menyuap, bersumpah palsu, dan sebagainya. Orang yang memakan
harta orang lain dengan cara tidak sah berarti telah berbuat dhalim (aniaya)
terhadap orang lain. Allah berfirman:
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa,
padahal kamu mengetahui”.(QS Al Baqarah 188).
7. Komitmen
terhadap peraturan dalam bingkai syari’at
Soerang pebisnis
muslim tidak akan membiarkan dirinya terkena sanksi hukuman undang-undang hukum
positif yang berlaku di tengah masyarakat. Misalnya dalam hal pajak, rekening
membenahi sistem akuntansi agar tidak terkena sangsi karena melanggar hukum.
Hal itu dilakukannya bukan untuk menetapkan adanya hak membuat hukum kepada
manusia, tetapi semata-mata untuk mengokohkan kewajiban yang diberikan Allah padanya
dan mencegah terjadinya keruskan yang mungkin timbul
8. Tidak
membahayakan/merugikan orang lain
Rasulullah telah
memberikan kaidah penting dalam mencegah hal-hal yang membahayakan, dengan
sabdanya “ Tidak dihalalkan melakukan bahaya atau hal yang membahayakan orang
lain (Irwa’ul Ghalil No 2175)”. Termasuk katagori membahayakan orang lain
adalah menjual barang yang mengancam kesehatan orang lain seperti obat-obatan
terlarang, narkotika, makanan yang kedaluwarsa. Atau melakukan hal yang
membahayakan pesaingnya dan berpotensi menghancurkan usaha pesaingnya, seperti
menjelek-jelekkan pesaing, memonopoli, menawar barang yang masih dalam proses
tawar-menawar oleh orang lain. Seorang pebisnis muslim hendaknya bersikap fair
dalam berkompetisi, dan tidak melakukan usaha yang mengundang bahaya bagi
dirinya maupun orang lain.
9. Loyal
terhadap orang beriman
Pebisnis muslim
sekaliber apapun tetaplah bagian dari umat Islam. Sehingga sudah selayaknya ia
melakukan hal-hal yang membantu kokohnya pilar-pilar masyarakat Islam dalam
skala interasional, regional maupun lokal. Tidak sepantasnya ia bekerjasama
dengan pihak yang nyata-nyata menampakkan permusuhannya terhadap umat Islam.
Ini merupakan bagian dari prinsip Al Wala’ (Loyalitas) dan Al Bara’ (berlepas
diri) yang merupakan bagian dari aqidah Islam. Sehingga ketika melaksanakan
usahanya, seorang muslim tetap akan mengutamakan kemaslahatan bagi kaum muslimin
dimanapun ia berada. Allah berfirman : “Janganlah orang-orang mu’min mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri -Nya. Dan hanya kepada Allah kembali.” (QS
Ali Imran 28).
10.
Mempelajari hukum dan adab mu’amalah islam
Dunia bisnis yang
merupakan interaksi antara berbagai tipe manusia sangat berpotensi
menjerumuskan para pelakunya ke dalam hal-hal yang diharamkan. Baik karena
didesak oleh kebutuhan perut, diajak bersekongkol dengan orang lain secara
tidak sah atau karena ketatnya persaingan yang membuat dia melakukan hal-hal
yang terlarang dalam agama. Karena itulah seorang Muslim yang hendak terjun di
dunia ini harus memahami hukum-hukum dan aturan Islam yang mengatur tentang
mu’amalah. Sehingga ia bisa memilah yang halal dari yang haram, atau mengambil
keputusan pada hal-hal yang tampak samar (syubhat).
Mengingat pentingnya
mempelajari hukum-hukum jual beli inilah, Khalifah Umar bin Khatab mengeluarkan
dari pasar orang-orang yang tidak paham hukum jual beli. Dalam kaitannya dengan
paradigma Islam tentang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus
dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan
manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam
bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan
berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas
apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga" (Tuhan) di setiap
aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim
dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi
dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran
seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam
ekonomi Islam.
B. Aktivitas
Bisnis yang Terlarang dalam Syariah
1. Menghindari
transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus komitmen
dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang
pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang
diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu
melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak
halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau
semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic cafe
tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak,
suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al
Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.
Menghindari cara memperoleh dan
menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar
dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah;275-279),
sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis yang tidak
transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar
kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk
dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi
adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah;
34 – 35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat
dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua
sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam
penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3. Persaingan
yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu
dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair
Rasulullah mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli
maka dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah
adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar
memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya
dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya
adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang
sangat besar. Rasulullah bersabda : ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu
untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang
terbuat dari api neraka kelak di hari kiamat”.
4. Pemalsuan
dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan
kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman
dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan
timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual maka
jangan menipu orang dengan kata-kata manis”.
Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan
cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan
penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk
penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut
:
a) Penawaran
dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan oleh penjual
seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang
memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak
mengkonsumsinya.
b) Iklan
yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di
media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau
kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c) Eksploitasi
wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk
lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap
menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita
berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan
wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhadap produk mereka.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur'an. Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi
interpretasi yang keluru terhadap teks al-Qur'an tersebut, sekilas nilai Islam
ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong
komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya,
pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah
menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap
mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia
tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen
ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu
Arabi, dalam sebuah pernyataannya. "Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur'an yang diterapkan kepada mereka
dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat)
dan dari bawah kaki mereka (dunia)."
Logika Ibn Arabi
itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun duinia ekonomi,
sebagaimana Nabi SAW bersabda : Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka
hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya
dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia
berilmu." Pernyataan Nabi tersebut mengisaratkan dan mengafirmasikan bahwa
dismping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan dalam bisnis juga ada faktor
lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill dan pengetahuantentang etika itu
sendiri. Gagal mengetahui pengetahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang
benar secara Islam maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun
untuk mendapat kebehagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan
sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika. Ilmu dan
etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukakan aktifitas apapun ( termasuk
bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu mengungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta menafikan aspek spiritulualisme. Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsirannya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skil khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang dibangunnya.
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Islam tidak memandang aktivitas bisnis hanya dalam tataran kehidupan dunia sebab semua aktivitas dapat bernilai ibadah jika dilandasi dengan aturan-aturan yang telah disyariatkan Allah. Dalam dimensi inilah konsep keseimbangan kehidupan manusia terjadi, yakni menempatkan aktivitas keduniaan dan keakhiratan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.Etika bisnis adalah tuntutan yang harus dilaksanakan oleh pelaku bisnis dalam menegakkan konsep keseimbangan ekonomi. Jika saja pengambilan keuntungan berlipat-lipat adalah sebuah kesepakatan pelaku ekonomi, bukankah hal ini menjadikan supply-demand tidak seimbang, pasar bisa terdistorsi dan seterusnya. Betapa indahnya jika sistem bisnis yang kita lakukan dibingkai dengan nilai etika yang tinggi. Etika itu akan membuang jauh kerugian dan ketidaknyamanan antara pelaku bisnis dan masyarakat. Lebih dari itu, bisnis yang berdasarkan etika akan menjadikan sistem perekonomian akan berjalan secara seimbang.
Demikianlah, satu
ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam yang didasarkan pada keimanan
kepada akhirat, yang diharapkan dapat mendorong prilaku positif di dunia,
anggaplah ini sebagai prinsip atau filsafah moral Islam yang bersifat
eskatologis.
Firman Allah :
"janganlah kamu membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah
dia membunuh semua manusia (kemanusiaan)". Sekali lagi anggaplah ini
sebagai falsafah moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis
alam.
B. Saran
Para pelaku bisnis dalam semua
bidang apapun harus benar-benar mempertimbangkan standar etika demi kebaikan
dan keberlangsungan usahanya dalam jangka panjang. Seharusnya para pelaku
bisnis mengacu pada etika yang ada dalam bisnis, karena etika bisnis dalam
suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta
pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra
kerja, pemegang saham, masyarakat dan saya ingin mengatakan bahwa dalam
kehidupan ini setiap manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema
etis antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit semata
sesuai dengan lingkup dan peran tanggung jawabnya, tetapi jika kita percaya
Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi diatas, maka percayalah, jika kita memilih
keputusan etis maka pada hakikatnya kita juga sedang meraih bisnis. Wallahu
'A'lam.
Daftar Pustaka
Bambang Rudito &
Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di
Indonesia.
Fritzche David J, 1997,
Business Ethics, A Global and Managerial Perspective, McGraw Hill Companies,
Inc.
Hadhiri Choiruddin SP, 1993. Klasifikasi Kandungan
Al-Qur’an, Gema Insani Press.
Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business
Ethics, Irvin McGraw Hill
Tim Multitama
Communication, 2006. Islamic Business Strategy for Entrepreneurship, Zikrul
Media Intelektual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar